Header

Minggu, 15 April 2012

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

oleh:
Imam Arifa'illah S.H
BAB I
PENGERTIAN INDIVIDU
Individu berasal dari kata yunani yaitu “individium” yang artinya “tidak terbagi”.Dalam ilmu sosial paham individu, menyangkut tabiat dengan kehidupan dan jiwa yangmajemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Individu merupakan kesatuanyang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan bukan sebagai manusia keseluruhan. Makadapat disimpulkan bahwa individu adalah manusia yang memiliki peranan khas atau spesifik dalam kepribadiannya. Dan terdapat tiga aspek dalam individu yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Dimana aspek aspek tersebut saling berhubungan. Apabila salah satu rusak maka akan merusak aspek lainnya.Berkaitannya antar individu dengan individu lainnya, maka menjadi lebih bermaknamanusia apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersangkutan. Proses yang meningkatakan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampao pada dirinya sendiri, disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam proses inimaka individu terbebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, yangakhirnya muncul suatu kelompok yang akan menentukan kemantapan satu masayarakat.Individu dalam tingkah laku menurut pola pribadinya ada tiga kemungkinan: pertamamenyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitasnya. Kedua takluk terhadapkolektif, dan ketiga mempengaruhi masyarakat. (Hartomo, 2004: 64). Dengan demikianmanusia merupakan mahluk individual tidak hanya dalam arti keseluruhan jiwa-raga, tetapimerupakan pribadi yang khas, menurut corak kepribadiannya dan kecakapannya.Individu mempunyai ciri-ciri memiliki suatu pikiran dan diri. Dimana individusanggup menetapkan kenyataan, interprestasi situasi, menetapkan aksi dari luar dan dalamdirinya. Dapat diartikan sebagai proses komunikasi individu dalam berinteraksi dan berhubungan.Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yang menjadilatar individu tersebut ditandai dengan dimana individu tersebut berusaha menempatkan prilaku pada dirinya sesuai dengan norma dan kebudayaan lingkungan tersebut , seperti diindonesia individunya menjunjung tinggi prilaku sopan santun, dan beretika dalam bersosialisasi.Individu selalu berada didalam kelompok, peranan kelompok tersebut adalah untuk mematangkan individu tersebut menjadi seorang pribadi. Dimana prosesnya tergantungterhadap kelompok dan lingkungan dapat menjadi faktor pendukung proses juga dapatmenjadi penghambat proses menjadi suatu pribadi. Faktor pendukung dan faktor penghambat juga dapat berdasarkan individu itu sendiri
1.1 Karakteristik individu dalam organisasi antara lain :

• karakteristikbiografis
1. Umur
2. Jeniskelamin
3. Status kawin
4. masakerja
• Kemampuan
1. Kemampuan fisik
2. Kemampuan intelektual
• Kepribadian
• Proses belajar
• Persepsi
• Sikap
• Kepuasankerja

1.2 Perilaku Individu dalam organisasi antara lain :
• Produktifitaskerja
• Kepuasankerja
• Tingkat absensi
• Tingkat turnover
Pertama, mari kita membahas tentangdasar-dasarPerilakuIndividu yang mempunyai karakteristik individu.
1.Karakteristik biografis
Umur (age)
Jeniskelamin (gender).
Status kawin (martial status)
Masakerja

2. Kemampuan
3. Kepribadian
4. Proses belajar (pembelajaran).
5. Persepsi
6. Sikap
7.Kepuasankerja

BAB II
PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN
2.1Pengertian Pertumbuhan :
Pertumbuhan adalah Perubahan alamiah secara kuantitatif pada segi jasmaniah / fisik dan menunjukkan kepada suatu fungsi tertentu yang baru dari organisme/ individu.
Pertumbuhan ( Growth ) adalah berkaitan dangan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat ( gram, pound ) ukuran panjang ( cm, inchi ), umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Contoh : Bertambah tinggi, bertambah berat badan dan tumbuhnya kelenjar-kelenjar sex
2.2 Pengertian Perkembangan :
Perkembangan ( Development ) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut adaanya proses difrensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk perkemabngan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Perkembangan disini di artikan sebagai perubahan yang dialami oleh individu atau oganisme menuju tingkat kedewasaannya (matury) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik fisik maupun psikis. Pertumbuhan dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu, walaupun demikian seorang anak dalam banyak hal tergantung kepada orang dewasa misalnya mengenai makanan, perawatan, bimbingan, perasaan aman, pencegahan penyakit dsb. Oleh karena itu semua orang yang mendapat tugas untuk mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Contoh : Sikap perasaan dan emosi, minat, cita-cita dan kepribadian seseorang.


2.3 Pengertian Kematangan
Kematangan atau masa peka menunjukkan kepada suatu masa tertentu yang merupakan titik kulminasi (titik puncak) dari suatu fase pertumbuhan sebagai titik tolak kesiapan dari suatu fungsi untuk menjalankan fungsinya. (Hurlock, 1956)
2.4 Prinsip-prinsip perkembangan
Pengertian perkembangan berbeda dengan pertumbuhan, meskipun keduanya tidak berdiri sendiri. pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Tidak saja anak menjadi lebih besar secara fisik, tetapi ukuran dan struktur rgandalam otak meningkat. Akibat adanya pertumbuhan otak anak memiliki kemampuan yang lebih besar untuk belajar, mengingat, dan berpikir. Sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif yang merupakan deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. Progresif menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju dan bukan mundur. Teratur dan koheren menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang sebelumnya dan sesudahnya.
Pada pembahasan ini akan diterangkan 6 prinsip perkembangan menurut Hurlock (1991). Prinsip-prinsip ini merupakan ciri mutlak dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh seorang anak, kesepuluh prinsip tersebut adalah :
a. Adanya perubahan.
Manusia tidak pernah dalam keadaan statis dia akan selalu berubah dan mengalami perubahan mulai pertama pembuahan hingga kematian tiba. Perbuhan tersebut bisa menanjak, kemudian berada di titik puncak kemudian mengalami kemunduran.
Selama proses perkembangan seorang anak ada beberapa ciri perubahan yang mencolok, yaitu ;
• Perubahan ukuran, Perubahan fisik yang meliputi : tinggi, berat, organ dalam tubuh, perubahan mental. Perubahan mental meliputi : memori, penalaran, persepsi, dan imajinasi.
• Perubahan proporsi, Misalnya perubahan perbandingan antara kepala dan tubuh pada seorang anak.
• Hilangnya ciri lama, Misalnya ciri egosentrisme yang hilang dengan sendirinya berganti dengan sikap prososial.
• Mendapatkan ciri baru, Hilangnya sikap egosentrisme anak akan mendapatkan ciri yang baru yaitu sikap prososial.


b. Perkembangan awal lebih kritis daripada perkembangan selanjutnya.
Lingkungan tempat anak menghaiskan masa kecilnya akan sangat berpengaruh kuat terhadap kemampuan bawaan mereka. Bukti-bukti ilmiaih telah menunjukkan bahwa dasar awal cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dari perilaku anak sepanjang hidupnya, terdapat 4 bukti yang membenarkan pendapat ini.
1. Hasil belajar dan pengalaman merupakan hal yang dominan dalam perkembanga anak
2. Dasar awal cepat menjadi pola kebiasaan, hal ihi tentunya akan berpengaruh sepanjang hidup dalam penyesuaian sosial dan pribadi anak
3. Dasar awal sangat sulit berubah meskipun hal tersebut salah
4. Semakin dini sebuah perubahan dilakukan maka semakin mudah bagi seorng anak untuk mengadakan perubahan bagi dirinya.

c. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar
Perkembangan seorang anak akan sangat diperngaruhi oleh proses kematangan yaitu terbukanya karateristik yang secara potensial sudah ada pada individu yang berasal dari warisan genetik individu. Seperti misalnya dalam fungsi filogentik yaitu mmerangkak, duduk kemudian berjalan. Sedangkan arti belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha. Melalui belajar ini anak anak memperoleh kemampuan menggunakan sumber yang diwariskan. Hubugan antara kematangan dan hasil belajar ini bisa dicontohkan pada saat terjadinya masa peka pada seorang anak, bila pembelajaran itu diberikan pada saat masa pekanya maka hasil dari pembelajaran tersebut akan cepat dikuasai oleh anak, demikian pula sebaliknya.
d. Pola perkembangan dapat diramalkan
Dalam perkembangan motorik akan mengikuti hukum chepalocaudal yaitu perkembangan yang menyebar keseluruh tubuh dari kepala ke kaki ini berarti bahwa kemajuan dalam struktur dan fungsi pertama-tama terjadi di bagian kepala kemudian badan dan terakhir kaki. Hukuk yang kedua yaitu proxmodistal perkembangan dari yang dekat ke yang jauh. Kemampuan jari-jemari seorang anak akan didahului oleh ketrampilan lengan terlebih dahulu.
e. Pola perkembangan mempunyai karateristik yang dapat diramalkan
Karateristik tertentu dalam perkembangan juga dapat diramalkan, ini berlaku baik untuk perkembangan fisik maupun mental. Semua anak mengikuti pola perkembangan yang sama dari saatu tahap menuju tahap berikutnya. Bayi berdiri sebelum dapat berjalan. Menggambar lingkaran sebelum dapat menggambar segi empat. Pola perkembangan ini tidak akan berubah sekalipun terdapat variasi individu dalam kecepatan perkembangan. Pada anak yang pandai dan tidak pandai akan mengikuti urutan perkembangan yang sama seperti anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Namun ada perbedaan mereka yang pandai akan lebih cepat dalam perkembangannya dibandingkan dengan yg memiliki kecerdasan rata-rata, sedangkan anak yang bodoh akan berkembanga lebih lambat.
Perkembangan bergerak dari tanggapan yang umum menuju tanggapan yang lebih khusus. Misalnya seorang bayi akan mengacak-acak mainan sebelum dia mampu melakukan permainan itu dengan jari-jarinya. Demikian juga dengan perkembangan emosi, anak akan merespon ketekutan secara umum pada suatu hal yang baru namun selanjutnya akan merepon ketakutan secara khusus pada hal yang baru tersebut.
Perkembangan berlangsung secara berkesinambungan sejak dari pembuahan hingga kematian, namun hal ini terjadi dalam berbagai kecepatan, kadang lambat tapi kadang cepat. Perbedaan kecepatan perkembangan ini terjadi pada setiap bidang perkembangan dan akan mencapai puncaknya pada usia tertentu. Seperti imajinasi kreatif akan menonjol di masa kanak-kanak dan mencapai puncaknya pada masa remaja.
Berkesinambungan memiliki arti bahwa setiap periode perkembangan akan berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya.
f. Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan
Walaupun pola perkembangan sama bagi semua anak, setiap anak akan megikuti pola yang dapat diramalkan dengan cara dan kecepatanya sendiri. Beberapa anak berkembang dengan lancar, bertahap langkah demi langkah, sedangkan lain bergerak dengan kecepatan yang melonjak, dan pada anak lain terjadi penyimpangan. Perbedaan ini disebabkan karena setiap orang memiliki unsur biologis dan genetik yang berbeda. Kemudian juga faktor lingkungan yang turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan seorang anak. Misalnya perkembangan kecerdasan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti kemampuan bawaan, suasana emosional, apakah seorang anak didorong untuk melakukan kegiatan intelektual atau tidak. Dan apakah dia diberi kesempatan untuk belajar atau tidak.Selain itu meskipun kecepatan perkembangan anak berbeda tapi pola perkembangan tersebut memiliki konsistensi perkembangan tertentu. Pada anak yang memiliki kecerdasan rata-rata akan cenderung memiliki kecerdasan yang rata-rata pula ketika menginjak tahap perkembangan berikutnya.
Perbedaan perkembangan pada tiap individu mengindikasikan pada guru, orang tua, atau pengasuh untuk menyadari perbedaan tiap anak yang diasuhnya sehingga kemampuan yang diharapkan dari tiap anak seharusnya juga berbeda. Demikian pula pendidikan yang diberikan harus bersifat perseorangan.
g. Setiap tahap perkembangan memiliki bahaya yang potensial
Pola perkembangan tidak selamanya berjalan mulus, pada setiap usia mengandung bahaya yang dapat mengganggu pola normal yang berlaku. Beberapa hal yang dapat menyebabkan antara lain dari lingkungan dari dari anak itu sendiri. Bahaya ini dapat mengakibatkan terganggunya penyesuaian fisik, psikologis dan sosial. Sehingga pola perkembangan anak tidak menaik tapi datar artinya tidak ada peningkatan perkembangan. Dan dapat dikatakan bahwa anak sedang mengalami gangguan penyesuaian yang buruk
Atau ketidakmatangan.
Peringatan awal adanya hambatan atau berhentinya perkembangan tersebut merupakan hal yang penting karena memungkinkan pengasuh (Orangtua, guru dll) untuk segera mencari penyebab dan memberikan stimulasi yang sesuai.





BAB III
TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
3.1 Tahap-tahap Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak.Bagaimana pertumbuhan balita/anak-anak Anda? Mari kita lihat tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Rata-rata pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dapat dilihat sebagai berikut:

• Umur 0-3 bulan
* Mengangkat kepala setinggi 45 derajat
* Menggerakkan kepala dari kanan/kiri ke tengah
* Melihat dan menatap wajah Anda
* Mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh
* Suka tertawa keras
* Bereaksi terkejut terhadap suara keras
* Membalas tersenyum ketika diajak bicara/tersenyum
* Mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran dan kontak
• Umur 3-6 bulan
* Berbalik dari telungkup ke telentang
* Mengangkat kepala setinggi 90 derajat
* Mempertahankan kepala tetap tegak dan stabil
* Menggenggam pencil
* Meraih benda yang ada dalam jangkauannya
* Memegang tangannya sendiri
* Berusaha memperluas pandangan
* Mengarahkan matanya pada benda-benda kecil
* Mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik
* Tersenyum ketika melihat gambar/mainan yang menarik saat bermain sendiri
• Umur 6-9 bulan
* Duduk (sikap tripoid-sendiri)
* Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
* Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
* Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
* Memungut 2 benda, masing-masing tangan pegang 1 benda pada saat yang bersamaan
* Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
* Bersuara tanpa arti, misalnya mamama, bababa, papapa.
* Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
* Bermain tepuk tangan/ciluk ba
* Bergembira dengan melempar benda
* Makan kue sendiri
• Umur 9-12 bulan
* Mengangkat badannya ke posisi berdiri
* Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
* Dapat berjalan dengan dituntun
* Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang diinginkan
* Menggenggam erat pensil
* Memasukkan benda ke mulut
* Mengulang menirukan bunyi yang didengar
* Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
* Mengeksprolasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
* Berekasi terhadap suara perlahan/bisikan
* Senang diajak bermain “ciluk ba”
* Mengenal anggota keluarga, takut pada orang yang belum dikenal
• Umur 12-18 bulan
* Berdiri sendiri tanpa berpegangan
* Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
* Berjalan mundur 5 langkah
* Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan kata “mama”
(tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya “ayah” ya akan panggil “ayah” catatan)
* Menumpuk 2 kubus
* Memasukkan kubus di kotak
* Menunjuk apa yang didinginkan tanpa merengek/menangis, anak bisa mengeluarkan suara yang menyenangkan atau menarik tangan ibu.
* Memperlihatkan rasa cemburu/bersaing
• Umur 18-24 bulan
* Berdiri sendiri tanpa berpegangan selama 30 detik
* Berjalan tanpa terhuyung-huyung
* Bertepuk tangan/melambai-lambai
* Menumpuk 4 buah kubus
* Memungut benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
* Menggelindingkan bola ke arah sasaran
* Menyebut 3-6 kata yang mempunyai arti
* Membantu/menirukan pekerjaan rumah tangga
* Memegang cangkir sendiri, belajar makan minum sendiri
• Umur 24-36 bulan
* Jalan naik tangga sendiri
* Dapat bermain dan menendang bola kecil
* Mencoret-coret pensil pada kertas
* Bicara dengan baik, menggunakan 2 kata
* Dapat menunjuk 1 atau lebih bagian tubuhnya ketika diminta
* Melihat gambar dan dapat menyebut dengan benar nama 2 benda atau lebih
* Membantu memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat piring jika diminta
* Makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah
* Melepas pakaiannya sendiri
• Umur 36-48 bulan
* Berdiri 1 kaki 2 detik
* Melompat kedua kaki diangkat
* Mengayuh sepeda roda tiga
* Menggambar garis lurus
* Menumpuk 8 buah kubus
* Mengenal 2-4 warna
* Menyebut nama, umur, tempat
* Mengerti arti kata di atas, di bawah, di depan
* Mendengarkan cerita
* Mencuci dan mengeringkan tangan sendiri
* Bermain bersama teman, mengikuti aturan permainan
* Mengenakan sepatu sendiri
* Mengenakan celana panjang, kemeja, baju
• Umur 48-60 bulan
• * Berdiri 1 kaki 6 detik
* Melompat-lompat 1 kaki
* Menari
* Menggambar tanda silang
* Menggambar lingkaran
* Menggambar orang dengan 3 bagian tubuh
* Mengancing baju atau pakaian boneka
* Menyebut nama lengkap tanpa dibantu
* Senang menyebut kata-kata baru
* Senang bertanya tentang sesuatu
* Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang benar
* Bicaranya mudah dimengerti
* Bisa membandingkan/membedakan sesuatu dari ukuran dan bentuknya
* Menyebut angka, menghitung jari
* Menyebut nama-nama hari
* Berpakaian sendiri tanpa dibantu
* Menggosok gigi tanpa dibantu
* Bereaksi tenang dan tidak rewel ketika ditinggal ibu
• Umur 60-72 bulan
* Berjalan lurus
* Berdiri dengan 1 kaki selama 11 detik
* Menggambar dengan 6 bagian, menggambar orang lengkap
* Menangkap bola kecil dengan kedua tangan gambar
* Menggambar segi empat
* Mengerti arti lawan kata
* Mengerti pembicaraan yang menggunakan 7 kata atau lebih
* Menjawab pertanyaan tentang benda
• terbuat dari apa dan kegunaannya
* Mengenal angka, bisa menghitung angka 5 -10
* Mengenal warna-warni
* Mengungkapkan simpati
* Mengikuti aturan permainan
* Berpakaian sendiri tanpa dibantu


Namun perlu diketahui bahwa tiap anak itu berbeda-beda pertumbuhannya. Ada anak yang berjalan duluan, tapi bicara belum jelas. Ada juga yang bicara duluan, berjalannya belakangan. Ada anak yang umur 2 tahun tapi susah bicara, jalan sudah lancar atau malah sudah berlari-lari, tapi tiap kali ditanya cuma diam saja. Rata-rata anak sekarang umur 1 tahun sudah dapat berjalan, bahkan Salma umur 10 bulan sudah berjalan. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak-anak. Nikmatilah jadi ibu atau orang tua, melihat perkembangannya setiap hari, bercengkerama dengan si buah hati, ada kedekatan batin yang di dapat si buah hati, orang tua juga bahagia melihat tumbuh kembang balitanya yang begitu cepat, sehat, lincah dan menggemaskan. Saat-saat ini adalah saat yang tak akan terulang kembali.
Perkembangan Anak (Perkembangan Fisik, Perkembangan Motorik, Perkembangan Kognitif, Perkembangan Psikososial) – Periode ini merupakan kelanjutan dari masa bayi (lahir – usia 4 th) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif (perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku), psikosial serta diikuti oleh perubahan – perubahan yang lain.
1. Perkembangan Fisik
Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya.

2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak – anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan – ketrampilan motorik, anak – anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak – anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll.
Beberapa perkembangan motorik (kasar maupun halus) selama periode ini, antara lain :
a). Anak Usia 5 Tahun
- Mampu melompat dan menari
- Menggambarkan orang yang terdiri dari kepala, lengan dan badan
- Dapat menghitung jari – jarinya
- Mendengar dan mengulang hal – hal penting dan mampu bercerita
- Mempunyai minat terhadap kata-kata baru beserta artinya
- Memprotes bila dilarang apa yang menjadi keinginannya
- Mampu membedakan besar dan kecil
b). Anak Usia 6 Tahun
- Ketangkasan meningkat
- Melompat tali
- Bermain sepeda
- Mengetahui kanan dan kiri
- Mungkin bertindak menentang dan tidak sopan
- Mampu menguraikan objek-objek dengan gambar
c). Anak Usia 7 Tahun
- Mulai membaca dengan lancar
- Cemas terhadap kegagalan
- Peningkatan minat pada bidang spiritual
- Kadang Malu atau sedih
d). Anak Usia 8 – 9 Tahun
- Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat
- Mampu menggunakan peralatan rumah tangga
- Ketrampilan lebih individual
- Ingin terlibat dalam sesuatu
- Menyukai kelompok dan mode
- Mencari teman secara aktif.
e). Anak Usia 10 – 12 Tahun
- Perubahan sifat berkaitan dengan berubahnya postur tubuh yang berhubungan dengan pubertas mulai tampak
- Mampu melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, menjemur pakaian sendiri , dll.
- Adanya keinginan anak unuk menyenangkan dan membantu orang lain
- Mulai tertarik dengan lawan jenis.
3. Perkembangan Kognitif
Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
Menurut teori Piaget, pemikiran anak – anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi – operasi, yaitu :
a). Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan – hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau keadaan yang lain.
b). Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu keadaan.
c). Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda yang ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
a. Perkembangan Memori
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan – keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Matlin (1994) menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting, yaitu :
1. Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulang berkali-kali informasi yang telah disampaikan.
2. Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan memori. Seperti, anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan dimana mereka duduk dalam satu kelas.
3. Imagery (Perbandingan) : Membandingkan sesuatu dengan tipe dari karakteristik pembayangan dari seseorang.
4. Retrieval (Pemunculan Kembali) : Proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali sebuah meori, mereka akan menggunakannya secara spontan.
Selain strategi-strategi memori diatas, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat anak (termasuk sikap, kesehatan dan motivasi), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya.
b. Perkembangan Pemikiran Kritis
Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.
c. Perkembangan Kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.
d. Perkembangan Bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.

4. Perkembangan Psikosial
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
a. Perkembangan Pemahaman Diri
Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.
c. Perkembangan Hubungan dengan Keluarga
Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial.
d. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.


3.2 Perkembangan masa remaja
Masalah remaja adalah masa datangnya pubertas (sebelas sampai empat belas tahun) sampai usia sekitar delapan belas-masa tranisisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang tuanya. Ada sejumlah alasan untuk ini:
1. Remaja mulai menyampaikan kebebasanya dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini bisa menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan bisa menjauhkan ia dari keluarganya.
2. Ia lebih mudah dipengaruhi teman-temannya dari pada ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orang tua pun melemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-contoh yang umum adalah mode pakaian, potongan rambut atau musik, yang semuanya harus mutakhir.
3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orang tua.
Ada sejumlah kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapapun menjemukan bagi mereka dan orang tua mereka, merupakan bagian yang normal dari perkembangan ini.
Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain :
1. Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya-periang berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
2. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3. Membolos
4. Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali
5. Penyalahgunaan obat bius
6. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.
Apa yang harus anda lakukan bila anda merasa cemas terhadap anak remaja anda. Langkah pertama adalah bertanya kepada diri sendiri apakah perilaku yang mencemaskan itu adalah perilaku yang normal pada anak remaja. Misalnya adalah pemurung, suka melawan, lebih senang sendiri atau bersama teman-temannya dari pada bersama anda. Anak remaja anda ingin menunjukan bahwa ia berbeda dengan anda. Hal ini dilakukan dengan berpakaian menurut mode mutakhir, begitu pula dengan kesenanganya pada potongan rambut dan musik. Semua itu sangat normal, asal perilaku tersebut tidak membahayakan, anda tidak perlu prihatin. Tindakan selanjutnya adalah menetapkan batas dan mempertahankannya. Menetapkan batas itu sangatlah penting, tetapi batas-batas itu haruslah cukup lebar untuk memungkinkan eksplorasi yang sehat.
• Bila perilaku anak anda membahayakan atau melampaui batas-batas yang anda harapkan, langkah berikutnya adalah memahami apa yang tidak beres.
• Depresi dan perilaku yang membahayakan diri selalu merupakan respon terhadap stres yang tidak dapat diatasinya.
• Anak remaja yang berperilaku atau suka membolos seringkali akibat meniru dan mengikuti teman-temannya, dan merupakan respon dari sikap orang tua yang terlalu ketat atau terlalu longgar.
• Minum-minuman alkohol dan menghisap ganja biasanya merupakan respon terhadap stres dan akibat meniru teman. Masalah seksual paling sering mencerminkan adanya kesulitan diri didalam proses pendewasaan.
Secara umum masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang "cukup baik". Donald winnicott, seorang psikoanalisis dari Inggris memperkenalkan istilah "good enough mothering" ia menggunakan istilah ini untuk mengacu pada kemampuan seorang ibu untuk mengenali dan memberi respon terhadap kebutuhan anaknya, tanpa harus menjadi ibu yang sempurna. Sekarang laki-laki pun telah "diikutsertakan", sehingga cukup beralasan untuk membicarakan tentang "menjadi orang tua yang cukup baik"
Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis besar adalah:
1. memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan
2. memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.
3. Memberikan sutu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
4. Membimbing dan mengendalikan perilaku.
5. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
6. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
7. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
8. Memberi teladan.


3.2 PERIODISASI PERKEMBANGAN MASA DEWASA AWAL
Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya tentu makin bertambah besar. la tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis ataupun psikologis pada orang tuanya. Mereka justru merasa tertantang untuk membukukan dirinya sebagai seorang pribadi dewasa yang mandiri. ‘Segala urusan ataupun masalah yang dialami dalam hidupnya sedapat mungkin akan ditangani sendiri tanpa bantuan orang lain, termasuk orang tua. Berbagai pengalaman baik yang berhasil maupun yang gagal dalam menghadapi suatu masalah akan dapat dijadikan pelajaran berharga guna mem-bentuk seorang pribadi yang matang, tangguh, dan bertanggung jawab terhadap masa depannya.
Secara fisik, seorang dewasa muda {young adulthood) menampil-kan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif.
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition^ transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan Fisik Dewasa Muda Awal
I.Dewasa Muda sebagai Masa Transisi
A. Transisi Fisik
Dari pertumbuhan fisik, menurut Santrock (1999) diketahui bahwa dewasa muda sedang mengalami peralihan dari masa remaja untuk memasuki masa tua. Pada masa ini, seorang individu tidak lagi disebut sebagai masa tanggung (akil balik), tetapi sudah tergolong sebagai seorang pribadi yang benar-benar dewasa (maturity). la tidak lagi diperlakukan sebagai seorang anak atau remaja, tetapi sebagaimana layaknya seperti orang dewasa lain-nya. Penampilan fisiknya benar-benar matang sehingga siap melakukan tugas-tugas seperti orang dewasa lainnya, misalnya bekerja, menikah, dan mempunyai anak. la dapat bertindak secara bertanggung jawab untuk dirinya ataupun orang lain (termasuk keluarganya). Segala tindakannya sudah dapat di-kenakan aturan-aturan hukum yang berlaku, artinya bila terjadi pelanggaran, akibat dari tindakannya akan memperoleh sanksi hukum (misalnya denda, dikenakan hukum pidana atau perdata}. Masa ini ditandai pula dengan adanya perubahan fisik, misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi.
B. Transisi Intelektual
Menurut anggapan Piaget (dalam Grain, 1992; Miller, 1993; Santrock, 1999; Papalia, Olds, & Feldman, 1998), kapasitas kognitif dewasa muda tergolong masa operational formal, bahkan kadang-kadang mencapai masa post-operasi formal (Turner &Helms, 1995). Taraf ini menyebabkan, dewasa muda mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. Dari sisi intelektual, sebagian besar dari mereka telah lulus dari SMU dan masuk ke perguruan tinggi (uniiversitas/akademi). Kemudian, setelah lulus tingkat universitas, mereka mengembangkan karier untuk meraih puncak prestasi dalam pekerjaannya. Namun demikian, dengan perubahan zaman yang makin maju, banyak di antara mereka yang bekerja, sambil terns melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, misalnya pascasarjana. Hal ini mereka lakukan sesuai tuntutan dan kemajuan perkembangan zaman yang ditandai dengan masalah-masalah yang makin kompleks dalam pekerjaan di lingkungan sosialnya.
C. Transisi Peran Sosial
Pada masa ini, mereka akan menindaklanjuti hubungan dengan pacarnya (dating), untuk segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang bam, yakni ter-pisah dari kedua orang tuanya. Di dalam kehidupan rumah tangga yang baru inilah, masing-masing pihak baik laki-laki maupun wanita dewasa, memiliki peran ganda, yakni sebagai individu yang bekerja di lembaga pekerjaan ataupun sebagai ayah atau ibu bagi anak-anaknyal Seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga, sedangkan seorang wanita sebagai ibu rumah tangga, tanpa me-, ninggalkan tugas karier tempat mereka bekerja Namun demikian, L tak sedikit seorang wanita mau meninggalkan kariernya untuk • menekuni tugas-tugas kehidupan sebagai ibu rumah tangga (do¬mestic tasks), agar dapat mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebagai anggota masyarakat, mereka pun terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, misalnya dalam kegiatan pen-didikan kesejahteraan keluarga (PKK) dan pengurus RT/RW.

II.Aspek-aspek Perkembangan Fisik
Aspek-aspek perkembangan fisik meliputi:
A. Kekuatan dan Energi
Selepas dari bangku pendidikan tinggi, seorang dewasa muda berusaha menyalurkan seluruh potensinya untuk mengembang-kan diri melalui jalur karier. Kehidupan karier, sering kali me-nyita perhatian dan energi bagi seorang individu. Hal ini karena mereka sedang rnerintis dan membangun kehidupan ekonomi agar benar-benar mandiri dari orang tua. Selain itu, mereka yang menikah hams rnemikirkan kehidupan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, mereka memiliki energi yang tergolong luar biasa, seolah-olah mempunyai kekuatan ekstra bila asyik dengan pekerjaannya.
B. Ketekunan
Untuk dapat mencapai kemapanan ekonomis (economically es¬tablished), seseorang harus memiliki kemauan kerja keras yang disertai ketekunan. Ketika menemukan posisi kerja yang sesuai dengan minat, bakat, dan latar belakang pendidikannya, mereka umumnya akan tekun mengerjakan tanggung jawab pekerja-annya dengan baik, Ketekunan merupakan salah satu kunci dari kesuksesan dalam meraih suatu karier pekerjaan. Karier yang cemerlang akan mempengaruhi kehidupan ekonomi keluarga yang baik pula; sebaliknya bila karier yang suram (gagal), kehidupan ekonomi seseorang pun suram. Namun, tak sedikit seorang individu yang belum cocok dengan pekerja¬an dan penghasilan yang diperoleh, tak segan-segan mereka segera pindah dan mencari pekerjaan lain yang dianggap cocok. Hal ini biasanya dilakukan mereka yang masih membujang atau belum menikah. Kalau mereka telah menikah, umumnya akan menekuni bidang kariernya walaupun hasil gajinya masih pas-pasan, dengan alasan sulimya mencari jenis pekerjaan yang baru dan takut dibayangi kegagalan.
C. Motivasi
Maksud dari motivasi di sini ialah dorongan yang berasal dari kesadaran diri sendiri untuk dapat meraih keberhasilan dalam suatu pekerjaan. Dengan kata lain, motivasi yang dimaksudkan ialah motivasi internal. Orang yang merniliki motivasi Internal, biasanya ditandai dengan usaha kerja keras tanpa dipengarahi lingkungan eksternal, arSnya seseorang akan bekerja secara tekun sampai benar-benar mencapai suatu tujuan yang diharapkan, tanpa putus asa walaupuri memperoleh hambatan atau rintang-an dari lingkungan eksternal.
III.Kesehatan Dewasa Muda
A. Pengertian Kesehatan
Organisasi bangsa-bangsa yang mengurusi masalah kesehatan dunia (WHO-M^or/t/ Health Organization), memberi definisi mengenai kesehatan. Menurut WHO yang dimaksud dengan sehat (healthy) adalah kondisi sehat sejahtera baik secara fisik, mental maupirn sosial yang ditandai dengan u’dak adanya gangguan-gangguan atau simtom-simtom penyakit, seperti keluh-an sakit fisik, keluhan emosional (Papalia, Olds, dan Feldman, 1998; Sarafino, 1994).
Kondlsi kesehatan seseorang berhubungan erat dengan beberapa kebiasaan perilaku individu yang bersangkutan. Untuk mencapai kehidupan yang sehat, diperlukan kebiasaan-kebiasaan perilaku yang sehat pula. Ada beberapa perilaku sehat yang dapat menopang kesehatan seseorang, di antaranya (1) makan secara teratur (tiga kali: sarapan, makan siang, dan makan malam, tidak termasuk snack); (2) perlu mengonsumsi makan-makanan yang sehat (mengandung gizi, nutrisi, protein, vitamin, karbohidrat, mineral, zat besi), misalnya empat sehat lima sempuma; (3) melakukan aktivitas secara seimbang antara kegiatan bekerja/belajar dengan kegiatan olahraga; (4) pola tidur yang sehat dan normal selama 7-8 jam; (5) membiasakan diri untuk tidak merokok; (6) membiasakan diri untuk tidak mengonsumsi narkoba (narkotik, alkohol, dan obat-obatan); (7) tidak mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi {daging sapi/kambing, fast-food/sea food (udang, cumi). Individu yang secara tekun mengikuti kebiasaan-kebiasaan tersebut, umumnya akan memiliki taraf kondisi kesehatan yang baik daripada individu yang tidak melakukannya. Para tokoh terkenal di dunia (dalam Liwijaya-Kuntaraf & Kuntaraf, 1995), yang hidup sehat dan berumur panjang, di antaranya Mahataia Gandhi (tokoh kemerdekaan India), Benyamin Franklin (tokoh keinerdekaan Amerika Serikat), Albert Einstein (penemu teori relativitas sehingga memunculkan bom atom), Martin Luther (reformator Gereja Protestan), Leonardo da Vinci (pelukis dan pemahat abad ke-13), Isac Newton (ilmuwan flsika dari higgris}, Charles Darwin (tokoh penemu teori evolusi), dan Francis Voltaire (filsuf dari Francis), umumnya menjalankan rahasia
hidup sehat dengan membiasakan diri untuk mengonsumsi makan sayur-mayur (vegetarian) dan menghindari makan-makanan dari daging-dagingan.
B. Perilaku dan Status Kesehatan
Status kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan seberapa jauh pola kebiasaan perilaku orang tersebut Kebiasaan perilaku yang sehat akan memberi pengaruh positif pada kesehatannya, sebaliknya kebiasaan yang salah cenderung memberi dampak negatif. Akibatnya, individu mudah terserang penyakit. Kasl & Cobb (dalam Sarafino, 1994) mengemukakan tiga jenis upaya individu untuk mengatasi suatu penyakit dan menipertahankan taraf kesehatan, yakni (1} health behavior; (2) illness behavior; (3) sick-role behavior.
• Health behavior adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan individu yang diyakini akan dapat membangun kesehatannya dengan cara mencegah suatu penyakit atau menanggulangi ganggu-an penyakitnya.
• Illness behavior adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan orang yang sakit, guna memperoleh informasi, nasihat atau cara penyembuhannya agar dirinya sehat kembali.
• Sick role behavior adalah aktivitas yang dilakukan individu untuk proses penyembuhan dari rasa sakitnya.
 Perkembangan Kognitif Dewasa Muda Awal
Masa perkembangan dewasa muda (young adulthood] ditandai dengan keinginan mengaktualisasikan segala ide-pemikiran yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi (universitas/akademi). Mereka bersemangat untuk meraih tingkat kehidupan ekonomi yang tinggi (mapan). Karena itu, mereka beriomba dan bersaing dengan orang lain guna mem-buktikan kemampuannya. Segala daya upaya yang berorientasi untuk mencapai keberhasilan akan selalu ditempuh dan diikuti sebab dengan keberhasilan itu, ia akan meningkatkan harkat dan martabat hidup di mata orang lain. Ketika memasuki masa dewasa muda, biasanya individu telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang matang. Dengan modal itu, seorang individu akan siap untuk menerapkan keahlian tersebut ke dalam dunia pekerjaan. Dengan demikian, individu akan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan mampu mengembangkan daya inisiatif-kreatimya sehingga ia akan memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, akan semakin mematangkan kualitas mentalnya.
B. Teori Perkembangan Mental Menurut Turner dan Helms
Para ahli psikologi perkembangan, seperti Turner dan Helms (1995) mengemukakan bahwa ada dua dimensi perkembangan mental, yaitu (1) dimensi perkembangan mental kualitatif (quali¬tative mental dimensions] dan (2) dimensi perkembangan men¬tal kuantitatif (quantitative mental dimensions}.
1. Dimensi Mental Kualitatif (Qualitative Mental Dimensions)
Untuk mengetahui sejauh mana kualitas perkembangan mental yang dicapai seorang dewasa muda, perlu diperbandingkan dengan taraf mental yang dicapai individu yang berada pada tahap remaja atau anak-anak. Walaupun Piaget mengatakan bahwa remaja ataupun dewasa muda sama-sama berada pada tahap operasi formal, yang membedakan adalah bagaimana kemampu-an individu dalam memecahkan suatu masalah. Bagi remaja, kadang kala masih mengalami hambatan, terutama cara me-mahami suatu persoalan masih bersifat harfiah, artinya individu memahami suatu permasalahan yang tersurat pada tuHsan dan belum memahami sesuatu yang tersirat dalam masalah tersebut. Hal ini bisa dipahami karena sifat-sifat karakteristik kognitif ini merupakan kelanjutan dari tahap operasi konkret sebelumnya.
Sementara itu, menurut Turner dan Helms (1995), dewasa muda bukan hanya mencapai taraf operasi formal, nielainkan telah memasuki penalaran postformal (post-formal reasoning). Kemampuan ini ditandai dengan pemikiran yang bersifat dialektikal (dialectical thought], yaitu kemampuan untuk me-mahami, menganalisis dan mencari titik temu dari ide-ide, gagasan-gagasan, teori-teori, pendapat-pendapat, dan pemikiran-pemikir-an yang saling kontradiktif (bertentangan) sehingga individu mampu menyintesiskan dalam pemikiran yang baru dan kreatif. Gisela Labouvie-Vief (dalam Turner dan Helms, 1995} setuju kalau operasi formal lebih tepat untuk remaja, sedangkan dewasa muda mampu memahami masalah-masalan secara logis dan mampu mencari intisari dari hal-hal yang bersifat paradoksal sehingga diperoleh pemikiran baru.
Menurut seorang ahli perkembangan kognitif, Jan Sinnot (1984, 1998, dikutip dari Papalia, Olds, dan Feldman, 2001), ada empat ciri perkembangan kognitif masa post-formal berikut ini. a. Shifting gears. Yang dimaksud dengan shifting gears adalah kemampuan mengaitkan penalaran abstrak (abstracts rea-soning) dengan hal-hal yang bersifat praktis. Artinya, individu bukan hanya mampu melahirkan pemikiran abstrak, melain-kan juga mampu menjelaskanymenjabarkan hal-hal abstrak (konsep ide) menjadi sesuatu yang praktis yang dapat diterap-kan langsung. Dalam hal ini akan dikenal dengan ungkap-an seperti, “This might work on paper but not in real life”. b. Multiple causality, multiple solutions. Seorang individu mampu memahami suatu masalah u’dak disebabkan satu faktor, tetapi berbagai faktor (multiple factors). Karena itu, untuk dapat menyelesaikannya, diperlukan kemampuan berpikir untuk mencari berbagai alternatif solusi (divergent think¬ing). Dengan demikian, seorang individu tidak berpikir kaku (rigid thinking] pada satu jenis penyelesaian saja. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan istilah, “Let’s try it your way, if that doesn’t work, we can try my way”. c. Pragmatism. Orang yang berpikir postformal biasanya ber-sikap pragmatis, artinya ia mampu menyadari dan memilih beberapa solusi yang terbaik dalam memecahkan suatu masalah. Pemikiran praktis yang dilahirkan dalam memecah¬kan suatu masalah pada tahap ini harus benar-benar mengenai sasaran (goal oriented). Namun, dalam hal ini, individu dapat menghargai pilihan solusi orang lain. Sebab, cara penyelesai- an masalah bagi tiap orang berbeda-beda, tergantung cara orang itu berpikir. Ungkapan yang tepat untuk masa pragmatisme ini adalah, “If you want the most practical solu¬tion, do this. If you want the quickest solution, do that”. d. Awareness of paradox. Seorang yang memasuki masa postformal benar-benar menyadari bahwa sering kali ia me-nemukan hal-hal yang bersifat paradoks (kontradiktif) dalam mengambil suatu keputusan guna menyelesaikan suatu masalah. Yang dimaksud paradoks (kontradiktif) adalah penyelesaian suatu masalah akan dihadapkan suatu dilema yang saling bertentangan antara dua hal dari masalah tersebut Bila ia mengambil suatu keputusan, keputusan tersebut akan memberi dampak positif ataupun negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Hal yang positif tentunya akan memberi keuntungan diri-sendiri, tetapi mungkin akan merugikan orang lain. Atau sebaliknya, hal yang negatif akan merugi-kan diri sendiri, tetapi akan memberi keuntungan bagi orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan keberanian (ketegasan) untuk menghadapi suatu konflik, tanpa harus melanggar prinsip kebenaran ataupun keadilan. Dalam hal ini, dikenal ungkapan, “Doing this will give him what he wants, but it will only make kirn unhappy in the end”.
2. Dimensi Mental Kuantltatif (Quantitative Mental Dimensions)
Biasanya, menurut Turner dan Helms (1995), untuk menge-tahui kemampuan mental secara kuantitatif diperlukan suatu pengukuran yang menggunakan skala angka secara eksak atau pasti. Dalam suatu penelitian longitudinal yang dilakukan sekitar tahun 1930 dan 1940, ditemukan bahwa taraf inteligensi cenderung menurun. Latar belakang proses penurunan ini dikarenakan perbedaan faktor pendidikan ataupun status social ekonomi (status of econo-sociafy. Individu yang memiliki latar belakang pendidikan ataupun status sosio-ekonomi rendah karena jarang memperoleh tantangan tugas yang mengasah kemampuan kecerdasan sehingga cenderung menurun ke¬mampuan intelektualnya secara kuann’tauf. Sebaliknya, individu yang memiliki taraf pendidikan ataupun status sosio-ekonomi yang mapan, berarti ketika bekerja banyak menuntut aspek pemikiran intelektual sehingga intelektualnya terasah. Dengan demikian, kemampuan kecerdasannya makin baik.
C. Tipe-Tipe Intelektual
Sementara itu, setelah melakukan serangkaian penelitian jangka panjang, para ahli (seperti Baltes dan Baltes, Baltes dan Schaie, Willis dan Baltes}, menyimpulkan ada beberapa tipe intelektual, yaitu inteligensi kristal (cristalized intelligence), fleksibilitas kognitif (cognitive flexibility], fleksibilitas visuo-motor (visuomotor flex¬ibility], dan visualisasi (visualization) (Turner dan Helms, 1995).
1. Inteligensi kristal adalah fungsi keterampilan mental yang dapat dipergunakan individu itu, dipengaruhi berbagai pengalaman yang diperoleh melalui proses belajar dalam dunia pendidikan. Misalnya, keterampilan pemahaman bahasa (komprehensif verbal/verbal comprehensive), penalaran berhitung angka (numerical skills), dan penalaran induktif (inductive reasoning). Jadi, keterampilan kognitif merupakan akumulasi dari pengalaman individu alcibat mengikuti ke-giatan pendidikan formal ataupun nonformal. Dengan demikian, pola-pola pemikiran intelektualnya cenderung bersifat teoretis-praktis (text book thinking).
2. Fleksibilitas kognitif adalah kemampuan individu me¬masuki dan menyesuaikan diri dari pemikiran yang satu ke pemikiran yang lain. Misalnya, kemampuan memahami melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubung-an seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyarat-an yang sah (perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorong-an biologis tersebut, mungkin akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan menentukan kriteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu, sebagai prasyarat pasangan hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang berbeda-beda.
3.fleksibilitas Visuamotor adalah kemampuan untuk menghadapi suatu masalah dari yang mudah ke hal yang lebih sulit,yang memerlukan aspek kemampuan visual/motorik(penglihatan,pengamatan,dan keterampilan tangan)
4.Visualisasi,yaitu kemampuan individu untuk melakukan proses visual.misalnua,bagaimana individu memahami gambar-gambar yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
Perkembangan Psikososial Dewasa Muda Awal
• Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Muda
Sebagian besar golongan dewasa muda telah menyelesaikan pendidikan sampai taraf universitas dan kemudian mereka segera memasuki jenjang karier dalam pekerjaannya. Kehidup¬an psikososial dewasa muda makin kompleks dibandingkan dengan masa remaja karena selain bekerja, mereka akan me¬masuki kehidupan pernikahan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap hams memperhaukan orang tua yang makin tua.
Selain itu, dewasa muda mulai membentuk kehidupan keluarga dengan pasangan hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja/masa sebelumnya. Havighurst (Turner dan Helms, 1995} mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa muda, di antaranya (a) mencari dan menemukan calon pasangan hidup, (b) membina kehidupan rumah tangga, (c) meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, dan (d) menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
A. Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup
B. Membina Kehidupan Rumah Tangga
C. Meniti Karier dalam Rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga
D. Menjadi Warga Negara yang Bertanggung Jawab
3.4 Perkembangan Fisik Dan Psikis Pada Usia Lanjut
Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Proses menjadi tua menggambarkan betapa proses tersebut dapat diinteferensi sehingga dapat mencapai hasil yang sangat optimal. Secara umum orang lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat dikategorikan dalam dua macam sikap. Pertama, masa tua akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam, sedangkan yang kedua, manusia usia lanjut dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya masa tua, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock, 1996 : 439).
Pengertian Lansia
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya.
Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses penuaan yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari.
Saparinah (1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap penisium, pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh atau kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan periode di mana seorang individu telah mencapai kemasakan dalam proses kehidupan, serta telah menunjukan kemunduran fungsi organ tubuh sejalan dengan waktu, tahapan ini dapat mulai dari usia 55 tahun sampai meninggal.
Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda.
Ciri-Ciri Lansia
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980, h.380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu :
Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.
Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di duia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Periode ini digambarkan dalam hadis sebagai berikut : Masa penuaan umur umatku adalah enam puluh hingga tujuh puluh tahun. (HR. Muslim dan Nas’i). Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa : Mereka berkata : Ya Rasulullah, berapakah ketetapan umur-umur umatmu? Jawab beliau : Saat kematian mereka (pada umumnya) antara usia enam puluh tahun dan tujuh puluh. Meraka bertanya lagi : Ya Rasulullah, bagaimana dengan umur delapan puluh? Jawab beliau, sedikit sekali umatku yang dapat mencapainya. Semoga Allah merahmati orag-orang yang mencapai umur delapan puluh.(HR. Hudzaifah Ibn Yamani).
Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penuaan dan penurunan, yang penururnanya lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia , penuaan dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit, tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Dengan kemampuan regeneratife yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Penurunan ini terutama penurunan yang terjadi pada kemampuan otak, dalam Al-Qur’an juga telah diterangkan dalam surat An-Nahl ayat 70 yaitu : Artinya: Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa (QS. An –Nahl ayat 70)
Dalam ayat yang lain juga di jelaskan mengenai tahapan-tahapan yang berkaitan dengan perkembangan seorang lanjut usia yaitu : Artinya : Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya) (QS.Al-Mukmin ayat 60 )
Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, teradapat berbagai perbedaan teori, namun para pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan oleh faktor gen. Penelitian telah menemukan bahwa tingkat sel, umur sel manusia ditentukan oleh DNA yang disebut telomere, yang beralokasi pada ujung kromosom. Ketentuan dan kematian sel terpicu ketika telomere berkurang ukuranya pada ujung kritis tertentu.
Perubahan yang terjadi pada lansia
Perkembangan jasmani
Penuaan terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan penuaan sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah dan mengalami penurunan alamiah. Sedangkan pada proses penuaan sekunder, terjadi proses penuaan karena faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku. Berbagai paparan lingkungan dapat dapat mempengaruhi proses penuaan, misalnya cahaya ultraviolet serta gas karbindioksida yang dapat menimbulkan katarak, ataupun suara yang sangat keras seperti pada stasiun kereta api sehingga dapat menimbulkan berkurangnya kepekaan pendengaran. Selain hal yang telah disebutkan di atas perilaku yang kurang sehat juga dapat mempengaruhi cepatnya proses penuaan, seperti merokok yang dapat mengurangi fungsi organ pernapasan.
Penuaan membuat sesorang mengalami perubahan postur tubuh. Kepadatan tulang dapat berkurang, tulang belakang dapat memadat sehingga membuat tulang punggung menjadi telihat pendaek atau melengkung. Perubahan ini dapat mengakibatkan kerapuhan tulang sehingga terjadi osteoporosis, dan masalah ini merupakan hal yang sering dihadapi oleh para lansia.
Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit menjadi semakin menebal dan kendur atau semakin banyak keriput yang terjadi. Rambut yang menjadi putih juga merupakan salah satu cirri-ciri yang menandai proses penuaan. Kulit yang menua menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang bersinar. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lapisan konektif ini dapat mengurangi kekuatan dan elasitas kulit, sehingga para lansia ini menjadi lebih rentan untuk terjadinya pendarahan di bawah kulit yang mengakibatkan kulit mejadi tampak biru dan memar. Pada penuaan kelenjar ini mengakibatkan kelenjar kulit mengasilkan minyak yang lebih sedikit sehingga menyebabkan kulit kehilangan kelembabanya dan mejadikan kulit kering dan gatal-gatal. Dengan berkurangnya lapisan lemak ini resiko yang dihadapi oleh lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera kulit.
Penuaan juga mengubah sistim saraf. Masa sel saraf berkurang yang menyebabkan atropy pada otak spinal cord. Jumlah sel berkurang, dan masing-masing sel memiliki lebih sedikit cabang. Perubahan ini dapat memperlambat kecepatan transmisi pesan menuju otak. Setelah saraf membawa pesan, dibutuhkan waktu singkat untuk beristirahat sehingga tiidak dimungkinkan lagi mentrasmisikan pesan yang lain. Selain itu juga terdapat penumpukan produksi buangan dari sel saraf yang mengalami atropy pada lapisan otak yang menyebabkan lapisan plak atau noda.
Orang lanjut usia juga memiliki berbagai resio pada sitem saraf, mislanya berbagai jenis infeksi yang diderita oleh seorang lansia juga dapat mempengaruhi proses berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang menyebabkan kesulitan sesaat dalam proses berfikir dan perilaku adalah gangguan regulasi glukosa dan metabolisme lansia yang mengidap diabetes. Fluktuasi tingkat glukosa dapat menebabkan gangguan berfikr. Perubahan signifikan dalam ingatan, berfikir atau perilakuan dapat mempengaruhi gaya hidup seorang lansia. Ketika terjadi degenerasi saraf, alat-alat indra dapat terpengaruh. Refleks dapat berkurang atau hilang.
Alat-alat indra persebtual juga mengalami penuaan sejalan dengan perjalanan usia. Alat-alat indra menjadi kuranng tajam, dan orang dapat mengalami kesulitan dalam membedakan sesuatu yang lebih detail, misalnya ketika seorang lansia di suruh untuk membaca koran maka orang ini akan mengalami kesulitan untuk membacanya, sehingga dibutuhkan alat bantu untuk membaca berupa kacamata. Perubahan alat sensorik memiliki dampak yang besar pada gaya hidup sesorang. Seseorang dapat mengalami masalah dengan komunikasi, aktifitas, atau bahkan interaksi sosial.
Pendengaran dan pengelihatan merupakan indra yang paling banyak mengalami perubahan, sejalan dengan proses penuaan indra pendengaran mulai memburuk. Gendang telinga menebal sehingga tulang dalam telinga dan stuktur yang lainya menjadi terpengaruh. Ketajaman pendengaran dapat berkurang karena terjadi perubhan saraf audiotorik. Kerusakan indara pendengaran ini juga dapat terjadi karena perubahan pada lilin telinga yang biasa terjadi seiring bertambahnya usia.
Struktur mata juga berubah karena penuaan. Mata memproduksi lebih sedikit air mata, sehingga dapat me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang sensitive. Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran ketika berusia 20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap perubahan cahaya gelap ataupun terang. Lensa mata menjadi kuning, kurang fleksibel, dan apabila memandang menjadi kabur dan kurang jelas. Bantalan lemak pendukung berkurang, dan mata tenggelam ke kantung belakang. Otot mata menjadikan mata kurang dapat berputar secara sempurna, cairan di dalam mata juga dapat berubah. Masalah yang paling yang paling umum dialami oleh lansia adalah kesulitan untuk mengatur titik focus mata pada jarak tertentu sehingga pandangan menjdi kurang jelas.
Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera dan sistem saraf mereka. Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali perubahan penurunan keberfungsian alat indera tersebut. Sedangkan pada sistem sarafnya adalah mulai menurunnya pemberian respon dari stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Pada lansia juga mengalami perubahan keberfungsian organ-organ dan alat reproduksi baik pria ataupun wanita. Dari perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198). Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri fisik lansia yaitu sebagi berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok (bungkuk),(2) kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat mulai menurun,(4) kondisi mata yang mulai rabun,(5) pendengaran yang berkurang.
Perkembangan Intelektual
Menurut david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme sacara umum, hampir sebagian besar penelitian menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada usia antara 45-55 tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus menerus mengalami penurunan, hal ini juga berlaku pada seorang lansia.
Ketika lansia memperlihatkan kemunduran intelektualiatas yang mulai menurun, kemunduran tersebut juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Misalnya seseorang yang memasuki masa pensiun, yang tidak menghadapi tantangan-tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan masalah pekerjaan, dan di mungkinkan lebih sedikit menggunakan memori atau bahkan kurang termotivasi untuk mengingat beberpa hal, jelas akan mengalami kemunduran memorinya. Menurut Ratner et.al dalam desmita (20080 penggunaan bermacam-macam strategi penghafalan bagi orang tua , tidak hanya memungkinkan dapat mencegah kemunduran intelektualitas, melinkan dapat menigkatkan kekuatan memori pada lansia tersebut.
Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatau yang tidak dapat dihindarkan, disebabkan berbagai faktor, seperti penyakit, kecemasan atau depresi. Tatapi kemampuan intelektual lansia tersebut pada dasarnya dapat dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat mempertahankan kondisi tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan lingkungan yang dapat merangsang ataupun melatih ketrampilan intelektual mereka, serta dapat mengantisipasi terjadinya kepikunan.
Perkembangan Emosional
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi (Widyastuti, 2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.
Hal – hal tersebut di atas yang dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan penyesuaian diri yang buruk. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakuatan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.
Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan– kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
Pada orang – orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik merupakan lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985). Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch, 1984).
Penyesuaian diri lanjut usia pada kondisi psikologisnya berkaitan dengan dimensi emosionalnya dapat dikatakan bahwa lanjut usia dengan keterampilan emosi yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Ohman & Soares (1998) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dorongan yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul rasa takut. Ketika individu memasuki fase lanjut usia, gejala umum yang nampak yang dialami oleh orang lansia adalah “perasaan takut menjadi tua”. Ketakutan tersebut bersumber dari penurunan kemampuan yang ada dalam dirinya. Kemunduran mental terkait dengan penurunan fisik sehingga mempengaruhi kemampuan memori, inteligensi, dan sikap kurang senang terhadap diri sendiri.
Ditinjau dari aspek yang lain respon-respon emosional mereka lebih spesifik, kurang bervariasi, dan kurang mengena pada suatu peristiwa daripada orang-orang muda. Bukan hal yang aneh apabila orang-orang yang berusia lanjut memperlihatkan tanda-tanda kemunduran dalam berperilaku emosional; seperti sifat-sifat yang negatif, mudah marah, serta sifat-sifat buruk yang biasa terdapat pada anak-anak.
Orang yang berusia lanjut kurang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kehangatan dan persaan secara spontan terhadap orang lain. Mereka menjadi kikir dalam kasih sayang. Mereka takut mengekspresikan perasaan yang positif kepada orang lain karena melalui pengalaman-pengalaman masa lalu membuktikan bahwa perasaan positif yang dilontarkan jarang memperoleh respon yang memadai dari orang-orang yang diberi perasaan yang positif itu. Akibatnya mereka sering merasa bahwa usaha yang dilakukan itu akan sia-sia. Semakin orang berusia lanjut menutup diri, semakin pasif pula perilaku emosional mereka.
Perkembangan Spiritual
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia. Rasulullah bersabda “semua penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1997), bahwa :
1.Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar daripada orang yang religius.
2.Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat dibandingkan yang non religius.
3.Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi atau masalah hidup lainnya.
4.Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.
5.Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir (kematian) daripada yang nonreligius.
5. Perubahan Sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (J.W.Santrock, 2002, h.239).


6. Perubahan Kehidupan Keluarga
Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan anak memiliki hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun.
Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
7. Hubungan Sosio-Emosional Lansia
Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga, takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa kesepian yang akan datang.
Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia, namun begitu pula sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya atau tidak memberikan ruang hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka tentunya memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup lansia.
Permaslahan yang dihadapi oleh Lansia
Terkait dengan permasalahan yang dialami oleh koresponden, mencakup beberapa hal sebagai berikut :
a. Koresponden pertama
1). Perkembangan Fisik
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang bernama Bapak XXX terkait dengan masalah pekembangan fisik yang mulai melemah, hal ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan terkait dengan permasalahan ini yaitu : Seringnya terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat. Indra pengelihatan yang mulai kabur Serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering mengalami sakit (masuk angin, flu)
2). Perkembangan Kognitif ( Intelektual )
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan kognitif, ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan yang dapat disimpulkan bahwa : Mulai melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal dan Sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar
3). Perkembangan Emosional
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan emosional, ini dapat di analisis dari berbagai pernyataan terkait dengan permasalahan ini yaitu : Rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian beliau menjadi sangat besar. Apabila melihat rekan kerja kurang aktif dalam melakukan pekerjaanya, maka tingkat emosi meningkat, terbukti bahwa beliau segera menegur rekan kerjanya tersebut agar lebih cekatan.
4). Perkembangan Spiritual
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan spiritual, ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan terkait dengan permasalahan ini yaitu :
Kesulitan untuk menghafal ayat Al-Qur’an karena daya ingat yang mulai menurun. Merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan sholat lima waktu.
Koresponden Kedua
1).Perkembangan Fisik
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang bernama ibu XXX terkait dengan masalah pekembangan fisik yang mulai melemah, hal ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan terkait dengan permasalahan ini yaitu :
Sering terjadinya rematik
Indra pendengaran yang mulai berkurang berfungsu dengan baik
2). Perkembangan Kognitif ( Intelektual )
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan kognitif, ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan yang dapat disimpulkan bahwa :
Mulai melemahnya daya ingat (pikun)
3). Perkembangan Emosional
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan emosional, ini dapat di analisis dari berbagai pernyataan terkait dengan permasalahan ini yaitu : Sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan Sering stress akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.
4). Perkembangan Spiritual
Permaslahan yang hadapi oleh koresponden yang terkait dengan masalah pekembangan spiritual, ini dapat di analisis dari berbagai pertanyaan terkait dengan permasalahan ini yaitu :
• Belum bisa membaca ayat Al-Qur’an
• Merasa gelisah ketika menemui permasalahan yang cukup serius.
Solusi Permasalahan
Berkaitan dengan masalah yang sering dialami oleh orang yang berusia lanjut dapat di tempuh melalui hal-hal sebagai berikut :
Berkanaan dengan Kesahatan Lansia ( fisik) :
Orang yang telah lanjut usia identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit. Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita.
Pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan lansia,misalnya pemberian asupan gizi yang cukup serta mengandung serat dalam jumlah yang besar yang bersumber pada buah, sayur dan beraneka pati, yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap.
• Minum air putih 1.5 – 2 liter, secara teratur
• Olah raga teratur dan sesuai dengan kapasitas kemampuanya
• Istirahat, tidur yang cukup
• Minum suplemen gizi yang diperlukan
• Memeriksa kesehatan secara teratur
• Berkanaan dengan Emosi :
Kesimpulan
Dari berbagai analis di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kajian teori dengan hasil obserfasi, tidaklah selalu sama secara keseluruhan tetapi terdapat hal yang berbeda, terutama dalam hal yang berkaitan dengan perkembangan emosional lansia. Dalam hal ini perbebedaan antara teori dengan praktik lebih terfokus pada faktor lingkunagn yang sangat berperan dalam pembentukan emosional lansia. Apabila lingkungan tersebut mendorong seorang lansia lebih tenang dalam meghadapi masa tuanya, dalam artian lingkungan tersebut sangat relijius maka hal yang di rasakan oleh orang yang usia lanjut, lebih tenang dan lebih bersiap dalam mempersiapkan hari tuanya.Tetapi apabila dalam lingkungan lansia tersebut kurang bersifat relijius, misalnya anggota keluarga, ataupun tetangga yang kurang agamis, maka persiapan lansia ini dalam menghadapi masa tuanya sangat gelisah karena, dalam hal ini objek merasa kurang diperhatikan dan orang-orang yang dianggap bisa mendukungnya ini, malah bersifat kurang responsive, sehingga perasaan gelisah ini sangat nampak


BAB IV
Perkembangan masa remaja
Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan; biasanya mulai dari usia 14 pada pria dan usia 12 pada wanita. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari satu budaya kebudayaan lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai bertindak terlepas dari orang tua mereka. Perkembangan pada remaja ditandai dengan beberapa perubahan misalnya saja perubahan pada fisik atau yang lainnya. Berikut adalah perkembangan yang terjadi pada masa remaja.
Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan tidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.

Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis
2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin
3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara
9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku (Havighurst dalam Hurlock, 1973).
4.1 Perkembangan fisik
Perubahan dramatis dalam bentuk dan ciri-ciri fisik berhubungan erat dengan mulainya pubertas. Aktivitas kelenjar pituitari pada saat ini berakibat dalam sekresi hormon yang meningkat, dengan efek fisiologis yang tersebar luas. Hormon pertumbuhan memproduksi dorongan pertumbuhan yang cepat, yang membawa tubuh mendekati tinggi dan berat dewasanya dalam sekitar dua tahun. Dorongan pertumbuhan terjadi lebih awal pada pria daripada wanita, juga menandakan bahwa wanita lebih dahulu matang secara seksual daripada pria. Pencapaian kematangan seksual pada gadis remaja ditandai oleh kehadiran menstruasi dan pada pria ditandai oleh produksi semen. Hormon-hormon utama yang mengatur perubahan ini adalah androgen pada pria dan estrogen pada wanita, zat-zat yang juga dihubungkan dengan penampilan ciri-ciri seksual sekunder: rambut wajah, tubuh, dan kelamin dan suara yang mendalam pada pria; rambut tubuh dan kelamin, pembesaran payudara, dan pinggul lebih lebar pada wanita. Perubahan fisik dapat berhubungan dengan penyesuaian psikologis; beberapa studi menganjurkan bahwa individu yang menjadi dewasa di usia dini lebih baik dalam menyesuaikan diri daripada rekan-rekan mereka yang menjadi dewasa lebih lambat.
4.2 Perkembangan intelektual
Tidak ada perubahan dramatis dalam fungsi intelektual selama masa remaja. Kemampuan untuk mengerti masalah-masalah kompleks berkembang secara bertahap. Psikolog Perancis Jean Piaget menentukan bahwa masa remaja adalah awal tahap pikiran formal operasional, yang mungkin dapat dicirikan sebagai pemikiran yang melibatkan logika pengurangan/deduksi. Piaget beranggapan bahwa tahap ini terjadi di antara semua orang tanpa memandang pendidikan dan pengalaman terkait mereka. Namun bukti riset tidak mendukung hipotesis ini; bukti itu menunjukkan bahwa kemampuan remaja untuk menyelesaikan masalah kompleks adalah fungsi dari proses belajar dan pendidikan yang terkumpul.
4.3 Perkembangan seksual
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggung-jawab atas munculnya dorongan seks. Pemuasan dorongan seks masih dipersulit dengan banyaknya tabu sosial, sekaligus juga kekurangan pengetahuan yang benar tentang seksualitas. Namun sejak tahun 1960-an, aktivitas seksual telah meningkat di antara remaja; studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50 persen remaja di bawah usia 15 dan 75 persen di bawah usia 19 melaporkan telah melakukan hubungan seks. Terlepas dari keterlibatan mereka dalam aktivitas seksual, beberapa remaja tidak tertarik pada, atau tahu tentang, metode Keluarga Berencana atau gejala-gejala Penyakit Menular Seksual (PMS). Akibatnya, angka kelahiran tidak sah dan timbulnya penyakit kelamin kian meningkat.
Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan, sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan fisik ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda sebagai berikut :
a. Tanda-tanda seks primer adalah perubahan fisik yang berhubungan langsung dengan organ seks yang meliputi :
- Terjadinya haid pada remaja putrid (menarche)
- Terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki.
b. Tanda-tanda seks sekunder, yaitu
- Pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis, cambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak
- Pada remaja puteri yaitu pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (pubis).
4.4 Perkembangan emosional
Psikolog Amerika G. Stanley Hall mengatakan bahwa masa remaja adalah masa stres emosional, yang timbul dari perubahan fisik yang cepat dan luas yang terjadi sewaktu pubertas. Psikolog Amerika kelahiran Jerman Erik Erikson memandang perkembangan sebagai proses psikososial yang terjadi seumur hidup.
Tugas psikososial remaja adalah untuk tumbuh dari orang yang tergantung menjadi orang yang tidak tergantung, yang identitasnya memungkinkan orang tersebut berhubungan dengan lainnya dalam gaya dewasa. Kehadiran problem emosional bervariasi antara setiap remaja.
Masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, berikut ini dijelaskan ciri-cirinya pada setiap tahapan yaitu :
a. Masa remaja awal (10-12 tahun) Ciri khas remaja awal antara lain :
- Lebih dekat dengan teman sebaya
- Ingin bebas
- Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
- Mencari identitas diri
- Timbulnya keinginan untuk kencan
- Mempunyai rasa cinta yang mendalam
- Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
- Berkhayal tentang aktifitas seks.
c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
- Pengungkapan kebebasan diri
- Lebih selektif dalam mencari teman sebaya
- Mempunyai citra jasmani dirinya
- Dapat mewujudkan rasa cinta
- Mampu berpikir abstrak
Dalam literatur klasik psikologi, emosi merupakan reaksi (kejiwaan) yang muncul lantaran adanya stimulan. Emosi yang sangat fruktuatif (mudah berubah) terjadi pada masa remaja. Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982). Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh.
Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari keterikatan-keterikatan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu, ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua.
Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa.
Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja.
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991). Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.
Masalah remaja merupakan masa datangnya pubertas (sebelas sampai empat belas tahun) sampai usia sekitar delapan belas-masa tranisisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja maupun orang tuanya. Ada sejumlah alasan untuk ini:
1. Remaja mulai menyampaikan kebebasanya dan haknya untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini bisa menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan bisa menjauhkan ia dari keluarganya.
2. Ia lebih mudah dipengaruhi teman-temannya dari pada ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orang tua pun melemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-contoh yang umum adalah mode pakaian, potongan rambut atau musik, yang semuanya harus mutakhir.
3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhannya maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul bisa menakutkan, membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima nasihat orang tua.
Ada sejumlah kesulitan yang sering dialami kaum remaja yang betapapun menjemukan bagi mereka dan orang tua mereka, merupakan bagian yang normal dari perkembangan ini.
Beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain :
1. Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya-periang berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
2. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3. Membolos
4. Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali
5. Penyalahgunaan obat bius
6. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.
Apa yang harus anda lakukan bila anda merasa cemas terhadap anak remaja anda
Langkah pertama adalah bertanya kepada diri sendiri apakah perilaku yang mencemaskan itu adalah perilaku yang normal pada anak remaja. Misalnya adalah pemurung, suka melawan, lebih senang sendiri atau bersama teman-temannya dari pada bersama anda. Anak remaja anda ingin menunjukan bahwa ia berbeda dengan anda. Hal ini dilakukan dengan berpakaian menurut mode mutakhir, begitu pula dengan kesenanganya pada potongan rambut dan musik. Semua itu sangat normal, asal perilaku tersebut tidak membahayakan, anda tidak perlu prihatin.
Tindakan selanjutnya adalah menetapkan batas dan mempertahankannya. Menetapkan batas itu sangatlah penting, tetapi batas-batas itu haruslah cukup lebar untuk memungkinkan eksplorasi yang sehat.
• Bila perilaku anak anda membahayakan atau melampaui batas-batas yang anda harapkan, langkah berikutnya adalah memahami apa yang tidak beres.
• Depresi dan perilaku yang membahayakan diri selalu merupakan respon terhadap stres yang tidak dapat diatasinya.
• Anak remaja yang berperilaku atau suka membolos seringkali akibat meniru dan mengikuti teman-temannya, dan merupakan respon dari sikap orang tua yang terlalu ketat atau terlalu longgar.
• Minum-minuman alkohol dan menghisap ganja biasanya merupakan respon terhadap stres dan akibat meniru teman. Masalah seksual paling sering mencerminkan adanya kesulitan diri didalam proses pendewasaan.
Secara umum masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang "cukup baik". Donald winnicott, seorang psikoanalisis dari Inggris memperkenalkan istilah "good enough mothering" ia menggunakan istilah ini untuk mengacu pada kemampuan seorang ibu untuk mengenali dan memberi respon terhadap kebutuhan anaknya, tanpa harus menjadi ibu yang sempurna. Sekarang laki-laki pun telah "diikutsertakan", sehingga cukup beralasan untuk membicarakan tentang "menjadi orang tua yang cukup baik"
Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis besar adalah:
1. memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan
2. memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.
3. Memberikan sutu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
4. Membimbing dan mengendalikan perilaku.
5. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
6. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
7. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
8. Memberi teladan.

BAB V
Sosialisasi Diri Remaja dan Efeknya terhadap Perilaku
Manusia dilahirkan dalam kondisi tak berdaya. Ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya sampai waktu tertentu. Seiring dengan perkembangan waktu, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang tua atau orang lain di sekitarnya untuk belajar mandiri. Sebagai proses awal pembelajarannya adalah bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka yang mulai beranjak remaja, terlebih dalam pencarian identitas diri, akan mengalaminya, karena hal ini merupakan proses alamiah. Sosialisasi diri yaitu proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukannya agar dapat berfungsi sebagai pemeran aktif dalam satu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakatnya. Sosialisasi dapat juga diartikan sebagai pengalaman sosial sepanjang hidup yang memungkinkan seseorang mengembangkan potensi kemanusiaannya dan mempelajari pola-pola kebudayaan yang ada di lingkungannya.
Sosialisasi diri dibedakan menjadi dua, yaitu sosialisasi sempurna dan sosialisasi tidak sempurna. Sosialisasi sempurna terjadi bilamana pelaku atau remaja bisa memilah dan memilih mana yang baik atau yang buruk baginya, baik tindakan yang salah maupun yang benar yang harus dilakukannya. Dengan begitu, remaja tersebut dapat berkembang dengan kondisi fisik dan psikis yang baik sesuai dengan usianya. Namun, sedikit sekali di era globalisasi ini kita temui remaja yang bekembang dengan baik dan sempurna seperti tersebut di atas.
Sosialisasi sempurna sangat banyak manfaatnya bagi perkembangan remaja. Misalnya, remaja tersebut memiliki banyak teman, sehingga banyak pengalaman pula yang akan ia dapatkan. Dengan memiliki banyak kemampuan untuk memilah baik buruknya tindakan yang ia temui dalam sosialisasi, maka ia dapat mengembangkan kepribadian yang baik. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan yang ia pilih untuk bersosialisasi pun merupakan lingkungan yang sehat dan baik.
Adanya sikap saling mengingatkan (care) antarsesamalah yang paling berpengaruh dalam terbentuknya kepribadian yang baik dalam sosialisasi ini. Selain itu, orang tua juga tidak akan resah terhadap sosialisasi yang dilakukan anaknya, karena mereka akan melihat sisi positif dari sosialisasi sang anak melalui sikapnya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Bahkan, orang tua akan cenderung bangga dan mendukung tindakan-tindakan sang anak selanjutnya.
Sebaliknya, sosialisasi yang tidak sempurna akan terjadi pada remaja yang selalu menelan mentah-mentah apa yang ia temui dalam bersosialisasi. Ia tidak memedulikan akibat yang terjadi jika ia melakukan tindakan sesuai dengan usianya. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sudah bukan wacana baru lagi seorang remaja bertindak lebih dewasa dari yang seharusnya. Bahkan, merupakan suatu keharusan remaja saat ini bertindak jauh lebih dewasa.
Dampak sosialisasi ini sangat buruk bagi perkembangan remaja. Disam itu, juga sangat meresahkan orang tua dan masyarakat sekitar. Proses sosialisasi yang berjalan tidak sempurna ini dapat membentuk kepribadian yang menyimpang. Telah kita ketahui bersama bahwa remaja yang mencari identitas dirinya akan melakukan apa saja demi sesuatu yang belum ia ketahui. Rasa keingintahuan yang besar dan sikap yang selalu menelan mentah-mentah apa yang ia temui dalam bersosialisasi inilah yang membuat ia melakukan tindakan yang menyimpang. Banyak sekali tindakan-tindakan yang diseabkan adanya sosialisasi yang tidak sempurna, antara lain terlibat tawuran dan pergaulan bebas. Pergaulan bebas yang semakn marak di kalangan remaja saat ini sangat meresahkan berbagai pihak. Hampir setiap hari kita dengar berbagai kasus tentang pergaulan remajayang semakin tidak bermoral di media massa. Bahkan free sex, minu-minuman keras dan keterlibatan dalam jaringan pemakai dan pengedar narkoba semakin menghantui masyarakat.
Mengatasi sosialisasi yang berjalan dengan tidak sempurna ini, dapat kita lakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu tingginya peran keluarga sehingga seorang anak bisa mendapat perhatian dan dukungan moril yang besar dari keluarga. Dengan adanya hal tersebut, dimaksudkan sosialisasi anak akan lebih baik dan terarah, sehingga baik-buruk tindakan yang akan ia lakukan bisa dipikirkan secara masak. Karena ia tidak ingin membuat keluarganya kecewa akan apa yang ia lakukan.
Selain itu pendekatan diri pada Tuhan Yang Maha Esa juga sangat diperlukan. Hal ini dapat menjadikan remaja berpikir ulang untuk melakukan suatu tindakan yang buruk, karena ia tahu bahwa tindakan yang tidak benar atau menyimpang tersebut adalah dosa yang yang kelak harus ia pertanggung jawabkan. Pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini seharusnya diajarkan oleh orang tua sejak dini. Sehingga dalam perkembangan menuju kedewasaannyam seorang anak sudah memiliki pegangan hidup, yakni tebalnya iman yang melekat pada dirinya.
Keselektifan dalam mencari teman juga memegang peranan yang sangat penting. Bagaimanapun juga, ketidaksempurnaan maupun kesempurnaan remaja dalam bersosialisasi sangat dipengaruhi oleh seorang teman. Baik buruknya teman kita, itulah yang menjadikan siapa kita nanti. Maka dari itu, kita harus benar-benar selektif dalam memilih siapa yang akan kita jadikan teman. Melihat semakin parahnya penyimpangan perilaku remaja akibat dari sosialisasi yang tidak sempurna, kita sebagai warga masyarakat yang peduli terhadap perkembangan generasi muda, diharapkan lebih peka terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Terutama yang berhubungan dengan sosialisasi yang akjan dilakukan remaja dan dampaknya tehadap perilaku. Tidak lepas dari semua itu, peran otang tualah yang sangat penting. Semakin besarnya perhatian dan penanaman nilai-nilai yang diberikan orang tua terhadap perkembangan sang anak terutama dalam tahap sosialisasi, akan menjadikan sang anak memiliki kepribadian yang semakin baik pula.


BAB VI
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERILAKU DAN PRIBADI
Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisasi tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit-sakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.
6.1 Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a. Perkembangan fisik
Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini terbentuk pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya, normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangannya fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologi
Perkembangan fisiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar dan pencernaan.
Aspek fisiologi yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf tersebut, rata-rata memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.
b. Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku psikomotorik memerlukan koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).
Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
(1) Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya selama tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).
Dengan demikian, maka dalam gerakan-gerakan psikornotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya sudah dapat diprediksi. Kalau teradi kelambatan-kelambatan dan ukuran normalitas waktu di atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu.
Keterampilan memegang benda, sampai dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya barulah merupakan gerakan meraih benda-benda yang ditarik ke dekat badannya dengan seluruh lengannya. Baru mulai pada masa enam bulan kedua dan kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur digunakan memungut dan memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya. Keterampilan memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan berjalan bebas dikuasai.
(2) Bermain dan Bekerja
Dengan dikuasainya keterampilan berjalan, anak bergerak sepanjang han ke segenap ruangan dan halaman rumah nya seperti tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat, melompat, dan sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya disentuhnya, diguncang, dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka diberikan atau disediakan alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya menyerupai konstruksi tertentu.
Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang ketat.
Pada usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-aturan yang ketat.
Pada usia remaja kegiatan motorik sudah tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan menulis, mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.
(3) Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas, faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fisik? dan perilaku psikomotorik.
6.2 Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis
a. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3) Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).
2. Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3. Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.
4. Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1. Faktor Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus, maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2. Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal atau di atas normal.).
3. Status Sosial Ekonorni Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer & Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4. Jenis kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
b. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Sebagian besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang telah penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan.
1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun
4. Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
Istilah-istilah khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif anak versi Piaget tersebut:
1. Sensory-motor schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian).
2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;
4. Assimilation (asimilasi), yakni proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan.
5. Accomodation (akomodasi), yakni penyesuajan aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons.
6. Equilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi.
Terdapat hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.
Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan dengan dua cara dua ialah secara kualitatif dan secara kuantitatif.
(1) Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif secara Kuantitatif perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan sampai ke tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya) secara test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standford Revision Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup General Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat ditafsirkan antara lain sebagai berikut.
(a) Laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya berangsur menurun.
(b) Puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya berangsur menurun (deklinasi).
(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
(2) Perkembangan Perilaku Kognitif secara Kualitatif
Piaget membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.
(a) Sensorimotor period (0,0 - 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku kognitif tampak antara lain:
(1) menyadari dirinya berbeda dan benda-befl sekitarnya;
(2) sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya;
(3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
(4) mendefinisikan objek/benda dengan manipulasinya;
(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
(b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual (2,0-4,0) dan intuitive (4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
(1) self-centered dalam memandang dunianya;
(2) dapat mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;
(4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
(c) Concrete erational (7,0 - 11 or 12,0)
Tiga kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah: rnengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret.

(d) Formal operational period (11,0 or 12,0 - 14,0 or 15,0)
Periode ini ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada kita antara lain:
(1) kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);
(2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational analysis);
(3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);
(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.
Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga periode ialah:
(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget;
(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan
(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan Piaget.
Dari telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat penting bagi pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage & Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:
(1) intellectual empathy;
(2) using concrete objects;
(3) using inductive approach;
(4) sequencing instruction;
(5) taking amount of fit of new experience;
(6) applying student self-regulation principles;
(7) developing cognitive values of interaction.
6.3 Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
a. Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.
Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
1) Proses sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.
Perkembangan sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhier mengidentifikasikan perkembangan sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku engkau atau hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama.
2) Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89) mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia 5-16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1) withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung diikutinya sampai dewasa.
b. Perkembangan Moralitas
1. Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.


2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.
a. Kolsisten dalam rnendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap orangtua dalarn keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten
c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panut (teladah) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis) dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami Perkembangan moral yang baik.
d. Sikap orangtua dalam menerapkan norma
Orang yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhka dirinya dan Perilaku berbohong atau tidak jujur.
3. Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral mi, adalah keteladanan dan orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral
2. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
c. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
1. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagarnaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatifl, mengalami perkembangan. Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya per kembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut.
(a) Pertama. Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh:
(1) sikap keagamaan reseptif meskipun banyak ber anya;
(2) pandangan ke-Tuhan-an yang anthropormorph (dipersonifikasikafi)
(3) penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual;
(4) hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat ego centric (memandang segala sesuatu dan sudut dirinya).
(b) Kedua. Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain, oleh:
(1) sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian
(2) pandangan dan paham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dan eksistensi dan keagungan-Nya;
(3) penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
(c) Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, ialah:
(1) masa remaja awal, yang ditandai, antara lain, oleh:
(a) sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang her agama secara hypocrit (pura-pura) yang peng akuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-annya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mende ngar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain;
(c) pen ghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama mi dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) masa remaja akhir, yang ditandai, antara lain, oleh:
(a) sikap kembali, pada umumnya, ke arab positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidup nya menjelang dewasa;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya;
(c) penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik (saleh) dan yang tidak. Ta juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan dunia ini.
2. Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Para ahli (Zakiah, Starbuch, dan lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti di atas merupakan gej ala yang universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah, aliran, paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).
6.4 Perkembangan Perilaku Afektif, Konatif dan Kepribadian
a. Perkembangan Fungsi-Fungsi Konatif dan Hubungannya dengan Pembentukan
Fungsi konatif atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang bersumber terutama pada kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis kebutuhan manusia itu berkembang mulai dari sifat yang alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis) sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi dengan lingkungannya.
Di dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya, misalnya objek dan caranya, itensitasnya, dan sebagainya.
b. Perkembangan Emosional dan Perilaku Afektif
Emosi itu dapat didefinisikan sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling state) dan getaran jiwa (a strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah terjadinya perilaku.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fisiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
2. Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).
a. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
b. Emosi psikis, di antaranya adalah:
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan buruk atau etika moral.
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dan sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Perkembangan Kepribadian?
c. Perkembangan Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian merupakan terjemahan dan Bahasa Inggris o7iai’t’ istilah personality secara etimologis berasal dan bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribad Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya; seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya. Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dan tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj alamrnelakukan penyesuaian dirinya terhadap ling \kungan secara unik” Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2) Temperamen, yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan
3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
5) ResponsibilitaS (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri risiko yang dihadapi.
6) Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka; dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik hereditas (pembawaan) maupun lingkungan (seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).
a. Fisik. Faktor yang dipandang mempengaruhi perkembangai kepribadian adalah postur tubuh (langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik), kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan keberfungsian organ tubuh.
b. Inteligensi. Tingkat intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Individu yang inteligensinya tinggi atau normal biasa mampu menyesuaikan din dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang rendah biasanya sering mengalami hambatan atau kendala dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c. Keluarga. Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesar kan dalam Iingkungan keluarga yang harmonis dan agamis dalam arti, orangtua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras terhadap anak atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga, maka perkembangan kepribadiannya cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment).
d. Teman sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan teman sebayanya dan menjadi anggota dan kelompoknya. Pada saat inilah dia mulai mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku yang cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan orangtuanya. Melalui hubungan ini terpersonal dengan teman sebaya, anak belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok. Bagi anak yang kurang mendapat kasih sayang dan bimbingan keagamaan atau etika dan orangtuanya, biasanya kurang memiliki kemampuan selektif dalam memilih teman dan mudah sekali terpengaruh oleh sifat dan perilaku kelompoknya.
e. Kebudayaan. Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras, atau suku bangsa) memiliki tnadisi, adat, atau kebudaya yang khas.
3. Perubahan Keprbadian
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubaha ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Faktor organik, seperti: makanan, obat, infeksi, dan gangguan organik.
b. Faktor lingkungan sosial budaya, seperti: pendidikan, nekreasi dan partisipasi sosial.
c. Faktor dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional identifikasi terhadap orang lain, dan imitasi.
4. Karakteristik Kepribadian
E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
a. Mampu menilai diri secara realities
b. Mampu menilai situasi secara realistik.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d. Menerima tanggung jawab.
e. Kemandirian (autonomi).
f. Dapat mengontrol emosi.
g. Berorientasi tujuan.
h. Berorientasi keluar.
i. Penerimaan sosial.
j. Memiliki filsafat hidup.
k. Berbahagia




BAB VII
DINAMIKA PERILAKU INDIVIDU
7.1 Penyesuaian Diri Remaja
Individu memerlukan interaksi dengan lingkungan sosialnya karena dalam lingkungan sosial individu dapat berkembang dan menyesuaikan diri. Bagi remaja yang tinggal di panti asuhan, lingkungan panti asuhan merupakan lingkungan sosial yang utama dalam mengadakan penyesuaian diri. Apabila remaja tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya maka remaja akan memiliki sikap negatif dan tidak bahagia. Hal tersebut perlu diperhatikan oleh panti asuhan sebagai lingkungan pengganti keluarga dalam memberikan perlakuan dan pemenuhan kebutuhan remaja agar dapat mengembangkan kepribadian yang sehat.
Individu dalam perkembangannya membutuhkan orang lain. Interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya bersifat timbal balik. Selain mengadakan kontak sosial, remaja membutuhkan dukungan dari lingkungan. Dukungan sosial yang diterima remaja dari lingkungannya, baik berupa dorongan semangat, perhatian, penghargaan, bantuan dan kasih sayang, membuat remaja memiliki pandangan positif terhadap diri dan lingkungan, sehingga menumbuhkan rasa aman dan bahagia yang penting dalam penyesuaian diri.
Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa/mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidak-mampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk melakukan penyesaian diri dengan kondisi yang penuh tekanan.

7.2 Pengertian Penyesuaian Diri
Pengertian penyesuaian diri pada awalnya berasal dari suatu pengertian yang didasarkan pada ilmu biologi yang di utarakan oleh Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusinya. Ia mengatakan: "Genetic changes can improve the ability of organisms to survive, reproduce, and, in animals, raise offspring, this process is called adaptation".(Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Sesuai dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup seperti cuaca dan berbagai unsur alami lainnya. Semua mahluk hidup secara alami dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan materi dan alam agar dapat bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuaian (adaptation dalam istilah Biologi) disebut dengan istilah adjusment. Adjustment itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Kehidupan merupakan proses penyesuaian diri yang berkesinambungan. Setiap individu selalu melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri adalah interaksi yang terus menerus dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Dari diri sendiri maksudnya adalah total kesiapan tubuh, tingkah laku, pikiran dan perasaan untuk mengahadapi segala sesuatu setiap saat. Orang lain maksudnya adalah bahwa secara nyata mereka memiliki pengaruh terhadap individu. Sedangkan lingkungan adalah penglihatan dan penciuman serta suara si sekitar individu yang dijalani sebagai urusan individu (Calhoun dan Acocella, 1995:14). Interaksi antara individu dengan orang lain dan lingkungannya bersifat timbal balik dan secara konstan saling mempengaruhi. Individu selain dapat mengatasi masalahnya sendiri, juga dapat mengatasi berbagai masalah yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam hidup bersama orang lain.
Penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan lain-lain emosi negatif sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis (Kartono, 2000)
Sedangkan Gerungan (1996) menyatakan bahwa penyesuaian diri berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan (autoplastis) dan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri (alloplastis). Jadi, penyesuaian diri dapat bersifat pasif yaitu kegiatan individu ditentukan oleh lingkungan dan dapat bersifat aktif yaitu kegiatan individu mempengaruhi lingkungan. Karena lingkungan dan keinginan individu yang selau berubah, maka penyesuaian diri sifatnya selalu dinamis antara autoplastis dan alloplastis.
Penyesuaian diri merupakan proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan tuntutan dari lingkungan (Schneiders dalam Pramadi, 1996). Penyesuaian diri dapat diperoleh melalui proses belajar memahami, mengerti dan berusaha melakukan apa yang diinginkan individu maupun lingkungannya. Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik akan mampu mencari sisi positif dari hal baru yang dimilikinya, kreatif dalam mengolah kondisi serta mampu mngendalikan diri, sikap dan perilakunya. Adanya hal-hal tersebut membuat individu akan lebih mudah diterima oleh lingkungan
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

7.3 Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.
2. Penyesuaian Sosial
Setiap iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
Pembentukan Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam, dan orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan Keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.
Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di kemudian hari. Meskipun bagi remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan stres.
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b. Lingkungan Teman Sebaya
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
c. Lingkungan Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi.
Penyesuaian Diri yang Baik
Penyesuaian diri secara positif pada dasarnya merupakan gejala perkembangan yang sehat, penyesuaian diri yang positif menurut Hariyadi, dkk (1995) ditandai oleh :
1. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya.
2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif.
3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya.
4. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes dan tidak kaku, sehingga menimbulkan rasa aman, tidak dihantui oleh kecemasan dan ketakutan.
5. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran.
6. Bersifat terbuka dan sanggup menerima umpan balik.
7. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi.
8. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, serta selaras dengan hak dan kewajibannya.
Heber dan Runyon (1983) dalam Hutabarat (2004) menyebutkan beberapa tanda pengenal penyesuaian diri yang sehat yaitu :
1. Persepsi yang tepat tentang kenyataan atau realitas
Individu yang penyesuaian dirinya baik akan merancang tujuan secara realitas dan secara aktif ia akan mengikutinya. Kadangkala karena paksaan dan kesempatan dari lingkungan, individu seringkali mengubah dan memodifikasi tujuannya dan ini berlangsung terus-menerus dalam kehidupannya.
2. Mampu mengatasi stres dan ketakutan dalam diri sendiri
Satu hal penting dalam penyesuaian diri adalah seberapa baik individu mengatasi kesulitan, masalah dan konflik dalam hidupnya. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan belajar untuk membagi stres dan kecemasannya pada orang lain. Dukungan dari orang di sekitar dapat membantu individu dalam menghadapi masalahnya.
3. Dapat menilai diri sendiri secara positif
Individu harus dapat mengenali kelemahan diri sebaik mengenal kelebihan diri. Apabila individu mampu mengetahui dan mengerti dirinya sendiri dengan cara realistis maka ia dapat menyadari keseluruhan potensi dalam dirinya.
4. Mampu mengekspresikan emosi dalam diri sendiri
Emosi yang ditampilkan individu realistis dan secara umum berada di bawah kontrol individu. Ketika seseorang marah, dia mampu mengekspresikan dengan cara yang tidak merugikan orang lain, baik secara psikologis maupun fisik. Individu yang memiliki kematangan emosional mampu untuk membina dan memelihara hubungan interpersonal dengan baik.
5. Memiliki hubungan interpersonal yang baik
Seseorang membutuhkan dan mencari kepuasan salah satunya dengan cara berhubungan satu sama lain. Individu yang penyesuaian dirinya baik mampu mencapai tingkatan yang tepat dari kedekatan dalam hubungan sosialnya. Individu tersebut menikmati rasa suka dan penghargaan orang lain, demikian pula sebaliknya individu menghargai orang lain.
Sunarto dan Hartono (1994) menggolongkan individu yang mampu menyesuaikan diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional
2. Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis
3. Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi
4. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri
5. Mampu dalam belajar
6. Menghargai pengalaman
7. Bersikap realistik dan objektif
Sundari (2005) menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki penyesuaian diri yang positif apabila ia dapat menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tidak adanya ketegangan emosi
Bila individu menghadapi masalah, emosinya tetap tenang, tidak panik, sehingga dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rasio dan dapat mengendalikan emosinya.
2. Dalam memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan rasional, mengarah pada masalah yang dihadapi secara langsung dan mampu menerima segala akibatnya.
3. Dalam memecahkan masalah bersikap realistis dan objektif
Bila seseorang menghadapi masalah segera dihadapi secara apa adanya, tidak ditunda-tunda. Apapun yang terjadi dihadapi secara wajar tidak menjadi frustrasi, konflik maupun kecemasan.
4. Mampu belajar ilmu pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi, sehingga dengan pengetahuan itu dapat digunakan menanggulangi timbulnya masalah.
5. Dalam menghadapi masalah butuh kesanggupan membandingkan pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman-pengalaman ini tidak sedikit sumbangannya dalam pemecahan masalah.
Dari karakteristik penyesuaian diri yang baik menurut beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik penyesuaian diri yang baik pada individu antara lain :
1. Mampu menerima dan memahami diri sendiri
2. Mampu menerima dan menilai kenyataan secara objektif
3. Mampu bertindak sesuai potensi diri
4. Memiliki kestabilan psikologis
5. Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri
6. Mampu bertindak sesuai norma yang berlaku
7. Memiliki hubungan interpersonal yang baik

Pemahaman penyesuaian diri pada remaja sangat penting dipahami oleh setiap remaja karena masa remaja merupakan masa pencarian jati diri. Setiap individu mengalami perubahan baik fisik maupun psikologis. Maka dari itu situs belajar psikologi ini memberikan sedikit pemahaman tentang penyesuaian diri pada remaja.
Seorang ahli bernama Schneiders (Gunarso, 1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya.Lebih jauh ia memberi pengertian bahwa penyesuaian diri itu baik atau buruk selalu melibatkan proses mental dan respon tingkah laku. Penyesuaian diri merupakan usaha-usaha individu untuk mengatasi kebutuhan dari dalam diri, ketegangan, frustasi, dan konflik serta untuk menciptakan keharmonisan atas tuntutan-tuntutan dalam dunia sekitar.
Menurut Daradjat (1972) penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Dikatakan bahwa penyesuaian diri mempunyai dua aspek, yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri. Sedangkan penyesuaian sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengannya.
Geringan (1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah mengubah diri sendiri dengan keadaan lingkungan dan juga mengubah lingkungan sesuai dengan keinginannya, Tentu saja hal ini tidak menimbulkan koflik bagi diri sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Hillgard (dalam Damayanti, 2002), individu mengadakan penyesuaian diri untuk menghilangkan konflik dan melepaskan rasa ketidak enakan dalam dirinya. Menurut Gunarso (1995) penyesuaian diri sebaiknya menjadi dasar dari pembetukan hidup dengan pola-pola yang berintegrasi tanpa tekanan emosi yang berarti. Katono (1980) mengartikan penyesuaian diri sebagi usaha untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungan sehingga rasa bermusuhan, dengki, iri hati, pasangka, kecemasan, kemarahan sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dengannya terkikis habis.
Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan seseorang. Setiap saat seseorang mempunyai kebutuhan penyesuaian diri, baik dengan dirinya sendiri antara kebutuhan jasmani dan rohani, maupun kebutuhan luarnya yaitu kebutuhan sosial. (Prastyawati, 1999). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk menyelaraskan kebutuhan dalam diri sendiri maupun dengan situasi diluar dirinya guna mendapatkan hubungan yang lebih baik serasi antara diri dan lingkungan yang dihadapinya.

Pada masa penyesuaian diri ini peran orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh dalam mencapai keberhasilan dalam melakukan penyesuaian diri untuk membangun jati diri yang baik. Orang tua bertugas untuk memberi tauladan dan mengawasi tindak tanduk tetapi tidak dengan mengekang semua kegiatanya, serta memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, misalnya berilah kebebasan kepada anak anda untuk bergaul dengan siapapun dan dari strata manapun asalkan tidak membawa pengaruh yang buruk baginya. Orang tua hendaknya membiasakan anak untuk mengenal dengan baik lingkungan sekitarnya agar mereka mampu beradaptasi dengan baik dimanapun mereka berada. Orang tua hendaknya juga bisa menjadi teman bagi anaknya terutama pada masa remaja sehingga anak bisa terbuka tentang segala masalah yang dihadapinya, karena dengan itu orang tua mampu mengawasi secara tidak langsung kegiatan- kegiatan yang dilakukannya.







BAB VIII

KEHIDUPAN REMAJA DALAM KELOMPOK SOSIAL

Masa remaja diwarnai dengan dimulai terbentuknya kelompok-kelompok sosial kecil yang anggotanya dari remaja-remaja sebaya yang memlikiki kedekatan khusus. Hal ini diwujudkan dalam bentuk geng-gengan kecil yang diantaranya anggotanya memiliki kesetiya kawanan yang cukup kuat. Keadaan ini menunjukkan adanya bentuk hubungan sosial yang intensif di kalangan remaja.
Remaja sebagai bagian warga masyarakat yang merupakan generasi muda penerus bangsa, memiliki kesmpatan besar untuk memulai sesuatu dengan hubungn sosial yang baik dalam bentuk kehidupan sosial yang di landasi persahabatan di masa mendatang. Namun kadang kala usia kelompok yang dibentuk remaja hanyalah berlangsung sejenak. Meskipun demikian, hal ini merupakan pertanda bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat terlepas dari orang lain. Interaksi sosial yang terjadi di kalangan remaja merupakan puncak perkembangan rasa sosial yang terjadi pada diri sesorang karena pada masa remja ini hubungan sosial yang terbentuk bertujuan untuk memperolah hubunga atau relasi baru yang lebih erat dalam kehidupan antar remaja. Keterikatan remaja dengan hubungan sosialnya pada umumnya sangatlah tinggi sehingga sering kali anak cenderung memilih mengikuti kegiatan kelompoknya dari pada kegiatan yang diselenggarakan keluarganya.
Keadaan itu menunjukan bahwa remaja mulai melepaskan diri dari ikatan keluarga dan memulai kehidupan sosialnya yang baru terlepas dari pengaruh ikatan keluarga. Dalam kelompok sosialnya akan memilih seseorang iduvidu yang bebas. Secara demokerasi pula, kelompoknya akan memilih berlangsung alamiah tanpa formalitas. Hali inilah yang menjadi pemicu kenapa seorang induvidu memilih kelompoknya dari pada keluarganya, yaitu karena di dalam kelompoknya ia diakui sebagai seorang induvidu yang bebas tanpa ikatan, sedangkan di adalam keluarganya ia tidak dapat memerankan perannya di luar kodrat yang disandangnya sebagai anak yang harus tunduk pada orang tua. Di dalam kelompok, pengakuan superioritas seseorang tidak didasarkan pada keturunan ataupun unsur senioritas, melainkan semata karena potensi pribadi yang muncul dalam bentuk pengaruh terhadap teman-teman dalam kelompoknya. Maka tidak mengherankan jika seorang anak yang dalam keluarganya dapat tidak berperan sama sekali, namun dalam lingkuangan kelompok sosialnya dianggap sebagai ketua yang cukup disegani dan diakui keberadaannya. Eratnya kelompok sosial berkaitan dengan hal-hal berikut.

1. Adanya rasa ikut saling memiliki suatu kelompok sosial yang ada di dalam diri anggotanya sehingga setiap anggota secara sadar merasa perlu untuk tetap menjaga keutuhan dan keberadaan kelompok.
2. Terjalinnya ketrikatan emosional dengan sesama anggota kelompok. Hal ini dilandasi oleh adanya kebutuhan untuk memperoleh perhatian yang dapat ditemukan dalam kelompok. Hal ini dapat terjadi karena kehadiran setiap anggota kelompok saling diperhatikan. Jika ada salah satu angggota yang tidak tampak hadir, mereka saling mencari sehingga kelompok saling terbentuk.
3. Jalinana hubungan sosial yang dilandasi oleh kebutuhan pribadi yang sifatnya emosional, di mana dalam kelompok sosial ini, setiap anggotanya memiliki media yang dirasa tepat bagi tempat mencurahkan segenap emosinya.
Hubungan antara pribadi dan remaja dilandasi oleh nilai-nilai sosial dan prilaku sosial yang berkaitan erat dengan tugas perkembangan masa remaja. Dalam hal ini, induvidu yang terlibat bukan sekedar sebagai objek, melainkan sekaligus segai subjek sehingga induvidu dalam kelompok sosial tersebut tidak hanya diatur oleh suatu nilai sosial melainkan ikut membentuk nilai sosial yang berlaku dalam kelompoknya. Dengan demikian, ia tidak saja ditunut untuk melakukan prilaku sosial tertentu, melainkan juga menentukan prilaku sosial yang harus di lakukan dalam kelompoknya. Oleh karena itu, dalam setiap kelompok sosial cenderung memiliki pola prilaku yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya.
Adapun beberapa nilai sosial yang terdapat didalam hubungan anatara pribadi meliputi:

1. Rasa ikut memiliki kelompok;
2. Adanya keterikatan emosional pada angota kelompok;
3. Hasrat untuk mengespresikan diri;
4. Kebutuhan akan mempertahankan kelompoknya;
5. Kebutuhan untuk dihargai;
6. Kebutuhan untuk selalu ada hadir dalam kelompoknya;
7. Keinginan memperoleh setatus;
8. Hasrat mencintai;
9. Hasrat dicintai, dan
10. Adanya wewenang dan kekuasaan.



8.1 Penerapan Nilai Dan Perilaku Sosial Remaja
Remaja tidak hanya menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya. Namun remaja juga menjalin hubungan sosial diluar kelompok sebayanya, antara lain menjalin pergaulan dilingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga.
Dalam pergaulan di lingkungan masyarakat , seorang remaja dituntut untuk menampilkan prilaku yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Perilaku sosial tersebut berkaitan erat dengan tugas perkembangan jenisnya yang meliputi:
1. Berani mengambil keputusan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain;
2. Mampu memberikan control pada diri sendiri maupun kelompok sosialnya;
3. Berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya;
4. Mampu mengembangkan toleransi sosial dalam bentuk tenggang rasa;
5. Mampu memimpin dan dipimpin dalam kelompok sosialnya, serta
6. Menerima tanggung jawab sosial yang diberikan kepadanya.
Dalam llingkungan keluarga, remaja melakukan interaksi sosial yang efektif dengan anggota keluarga. Interaksi sosial inilah yang menentukan arah dan sifat sosial remaja di dalam kehidupan masyarakat luas. Munculnya kekuatan dan kelemahan yang ada pada seseorang bersumber dari lingkungan keluarganya karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak mengawali kehidupannya dan menerima proses sosiallisasi yang pertama dalam hidupnya. Demikian juga peranan remaja sesuai jenis kelaminnya, di awali dengan kehidupan keluarga. Keluarga membiasakan mendidik anak perempuan untuk mengerjakan perkerjaan ibu rumah tangga, sedangkan anak laki-laki cenderung dilatih untuk mengenal perkerjaan yang sifatnya banyak menguras energi dengan mengandalkan kekuatan fisik.
Setelah anak memasuki usia remaja, banyak orang tua yang kewalahan dengan perubahan yang terjadi pada anaknya, dimana memasuki masa remaja, perubahan besar terjadi pada pola perilaku dan pola pemikiran anak. Anak yang semuala penurut mulai menunjukkan perilaku yang bagi orang tuanya merupakan bentuk perilaku yang asing. Tidak jarang perubahan ini tidak dapat diterima orang tua sehingga menimbulkan konflik anatara orang tua dan anak. Hal ini disebabkan karena pola pemikiran orang tua yang tidak selaras dengan perkembangan anak.
Terjadinya konflik anatara anak dan orang tua yang disebabkan oleh perubahan fisik maupun pifiskis pada remaja perlu dipahami oleh orang tua sehingga konflik tidak berlanjut menjadi kesalahpahaman yang memperburuk hubungan orang tua dan anak, khususnya mengenai perkembangan anak selanjutnya. Dalam keadaan ini, peranan orang tua untuk bertindak bijak sana sangatlah diperlukan.
Ketidak puasan anak dalam konfilk dengan orang tua pada umumnya disalurkan dalam kehidupan kelompok sosialnya. Anak-anak yang merasa senasib berkumpul dan menuangkan rasa ketidak puasannya dalam bentuk perilaku yang cenderung emosional dan melawan norma sosial yang dianggap sebagai hal yang kolot.
Munculya kenakalan remja di lingkuan masyarakat lebih banyak dipicu dari situasi kehidupan keluarga. Hubungan anak dengan orang tua yang tidak harmonis berakibat anak tidak meras betah di rumah, dan merasa mendapatkan tempat diluar rumah. Kenakalan remaja menjadi meresahkan masyarakat karena perilaku remaja yang tidak sesuai denga norma sosial yang berlaku. Para remaja merasa memiliki niali dan norma sosial yang berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku di lingan masyarakat. Misalnya, anak mulai merubah penampilannya dan keberadaannya yang tidak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Hal ini bukan sekedar tampil beda atau menerik perhatian, melainkan sebagai bentuk perhujudan perasaan yang terpendam dalam diri remaja.
Dalam masyarakt, keberadaan remaja mendapat perhatian secra khusus dengan dibentuknya lembaga kemasyarakatan yang disebut karang taruna. Dengan dibentuknya karang taruna, diharpakan remaja mendapatkan tempat untuk menyalurkan kehidupan sosialnya berkaitan dengan kehidupannya yang sebagai anggota masyarakat. Melalui karang taruna ini, remaja diberikan kesempatan untuk melakukan aspirasinya dan mengembangkan interaksi sosialnya secara terarah demi kemajuan daerah. Pada umumnya, karang taruna merupakan wadah untuk mendidik remja dan mempersiapkan remaja terjun kemasyarakat.
Beberapa kegiatan karang taruna sebagai berikut:
1. Dalam bidang seni budaya dengan menyalurkan bakat dan minat dalam bidang kesenian dan kebudayaan dengan mengembangkan seni budaya yang di minati remaja di lingkungan daerah pemukiman tersebut. Misalnya, kelompok band,kelompok teater, dan kelompok seni lainnya.Ç
2. Dalam bidang kerohanian mengarahkan remaja dalam bidang pengamalan ajaran agama yang dibimbing dalam lingkungan tempat peribadatan yang ada di daerah tersebut.
3. Dalam bidang sosial kemasyarakatan dengan mengarahkan remaja untuk turut ambil bangain dalam pengabdian masyarakat misalnya, kegiatan membantu pelaksanaan hajatan dan kegiatan kerja bakti kampung.
4. Dalam bidang ekonomi mengarahkan remaja untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan perekonomian. Misalnya, mendirikan koperasi khusus remaja, membuka bengkel kerja, ataupun usaha bidang ekonomi lainnya yang dikelola oleh anggota karang taruna.
Partisipasi remaja dalam kegiatan merupakan bentuk penyaluran bakat dan minat yang ada pada remaja, sekaligus sebgai mendia remaja dalam bentuk identitas dirinya sebagai generasi penerus yang pontensial. Keberadaan karang taruna juga merupakaan filter bagi kemungkinan masuknya pengaruh negatif yang meracuni remaja sehingga dapat menekan terjadinya tindak kenakalan dikalangan remaja, khususnya didaerah tersebut.
Melalui karang taruna, peranan sosial remaja ditengah kehidupan masyarakat dapat diarahkan menuju hal-hal yang bermanfaat bagi kelanjutan hidup mereka sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab dan peduli terhadap tanggung jawab sosialnya. Melalui karang taruna pula, remaja di latih untuk mempersiapkan diri menjadi warga masyarakat sekaligus sebagai warga negara yang baik.
8.2 Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja
Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.
Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.
Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar. Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.
Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.
Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.
Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.
Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan "energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.
Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.
Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.
Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.
Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.
Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.


BAB IX
KEHIDUPAN PRIBADI DAN PENDIDIKAN REMAJA
9.1 Kehidupan Pribadi
1. Adventurous. Orang yang mau melakukan suatu hal yang baru dan berani dengan tekad untuk menguasainya.
 Adaptable. Mudah menyesuaikan diri dan senang dalam setiap situasi.
 Animated. Penuh kehidupan, sering menggunakan isyarat tangan, lengan dan wajah secara hidup.
 Analytical. Suka menyelidiki bagian-bagian hubungan yang logis dan semestinya.
2.Presistent. Melakukan sesuatu sampai selesai sebelum memulai lainnya.
 Playful. Penuh kesenangan dan selera humor yang baik.
 Persuasive. Meyakinkan orang dengan logika dan fakta, bukannya pesona atau kekuasaan.
 Peaceful. Tampak tidak terganggu dan tenang serta menghindari bentuk kekacauan.
3. Submissive. Dengan mudah menerima pandangan atau keinginan orang lain tanpa banyak perlu mengemukakan pendapatnya sendiri.
 Self-sacrificing. Bersedia mengorbankan dirinya demi atau untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
 Sociable. Orang yang memandang bersama orang lain sebagai kesempatan untuk bersikap manis dan menghibur, bukannya sebagai tantangan atau kesempatan bisnis.
 Strong-willed. Orang yang yakin akan caranya sendiri.
4.Considerate. Menghargai keperluan dan perasaan orang lain.
 Controlled. Mempunyai perasaan emosional tertapi jarang memperlihatkannya.
 Competitive. Mengubah setiap situasi, kejadian, atau permainan menjadi kontes dan selalu bermain untuk menang.
 Convincing. Bisa merebut hati anda melalui pesona kepribadiannya.
5.Refreshing. Memperbaharui dan membantu atau membuat orang lain merasa senang.
 Respectful. Memperlakukan orang lain dengan rasa segan, kehormatan, dan penghargaan.
 Reserved. Menahan diri dalam menunjukkan emosi atau antusiasme.
 Resourceful. Bisa bertindak cepat dan efektif boleh dikata dalam semua situasi.
6.Satisfied. Orang yang mudah menerima keadaan atau situasi apa saja.
 Sensitive. Secara intensif memperhatikan orang lain dan apa yang terjadi
 Self-reliant. Orang yang mandiri yang bisa sepenuhnya mengandalkan kemampuan, penilaian, dan sumber dayanya sendiri.
 Spirited. Penuh kehidupan dan gairah
7.Planner. Memilih untuk mempersiakan aturan-aturan yang terinci sebelumnya dalam menyelesaikan proyek atau target, dan lebih menyukai keterlibatan dengan tahap-tahap perencanaan dan produk jadi, bukannya melaksanakan tugas.
 Patient. Tidak terpengaruh oleh penundaan, tetap tenang dan toleran.
 Positive. Mengetahui segala-galanya akan beres kalau dia yang memimpin.
 Promoter. Mendorong atau memaksa orang lain mengikuti, bergabung, atau menanam investasi melalui pesona kepribadiannya.
8.Sure. Yakin, jarang ragu-ragu atau goyah.
 Spontaneous. Memilih agar semua kehidupan merupakan kegiatan yang implusif, tidak dipikirkan lebih dulu, dan tidak dihambat oleh rencana.
 Scheduled. Membuat, dan menghayati, menurut rencana sehari-hari, tidak menyukai rencananya terganggu.
 Shy. Pendiam, tidak mudah terseret ke dalam percakapan.
9.Orderly. Orang yang mengatur segala-galanya secara metodis dan sistematis.
 Obliging. Bisa menerima apa saja. Orang yang cepat melakukannya dengan cara lain.
 Outspoken. Bicara terang-terangan dan tanpa menahan diri.
 Optimistic. Orang yang periang dan meyakinkan dirinya dan orang lain bahwa segala-galanya akan beres.
10.Friendly. Orang yang menanggapi dan bukan orang yang punya inisiatif, jarang memulai percakapan.
 Faithful. Secara konsisten bisa diandalkan, teguh, setia, dan mengabdi kadang-kadang tanpa alasan.
 Funny. Punya rasa humor yang cemerlang dan bisa membuat cerita apa saja menjadi peristiwa yang menyenangkan.
 Forceful. Kepribadian yang mendominasi dan menyebabkan orang lain ragu-ragu untuk melawannya.
11.Daring. Bersedia mengambil resiko, tak kenal takut, berani.
 Delightful. Orang yang menyenangkan sebagai teman.
 Diplomatic. Berurusan dengan orang lain secara penuh siasat, perasa, dan sabar.
Detailed. Melakukan segala-galanya secara berurutan dengan ingatan yang jernih tentang segala hal yang terjadi.
12.Cheerful. Secara konsisten memiliki semangat tinggi dan mempromosikan kebahagiaan pada orang lain.
 Consistent. Tetap memiliki keseimbangan secara emosional, menanggapi sebgaimana yang diharapkan orang lain.
 Cultured. Orang yang perhatiannya melibatkan tujuan intelektual dan artistik seperti teater, simpfoni dan balet.
 Confident. Percaya diri dan yakin akan kemampuan dan suksesnya sendiri.
13.Idealistic. Memvisualisasikan hal-hal dalam bentuk yang sempurna, dan perlu memenuhi standar itu sendiri.
 Indepentent. Memenuhi diri sendiri, mandiri, penuh kepercayaan diri, dan rupanya tidak begitu memerlukan bantuan.
 Inoffensive. Orang yang tidak pernah mengatakan atau menyebabkan apa pun yang tidak menyenangkan atau menimbulkan rasa keberatan.
 Inspiring. Mendorong orang lain untuk bekerja, bergabung, atau terlibat, dan membuat seluruhnya menyenangkan.
14.Demonstrative. Terang-terangan menyatakan emosi, terutama rasa sayang dan tidak ragu-ragu menyentuh orang lain ketika berbicara kepada mereka.
 Decisive. Orang yang mempunyai kemampuan membuat penilaian yang cepat dan tuntas.
 Dry humor. Memperlihatkan “kepandaian berbicara yang menggigit” biasanya kalimat satu baris yang sifatnya sarkastis.
 Deep. Intensif dan introspektif tanpa rasa senang kepada percakapan dan pengejaran yang pulasan.
15.Mediator. Secara konsisten mencari peranan merukunkan pertikaian supaya bias menghindari konflik.
 Musical. Ikut serta atau punya apresiasi mendalam untuk musik, punya komitmen terhadap musik sebagai bentuk seni, bukannya kesenangan pertunjukan.
 Mover. Terdorong oleh keperluan untuk produktif, pemimpin yang diikuti orang lain, merasa sulit duduk diam-diam.
 Mixes easily. Menyukai pesta dan tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan setiap orang dalam ruangan, tidak pernah menganggap orang lain asing.
16.Thoughtful. Orang yang tanggap dan mengingat kesempatan istimewa dan cepat memberikan isyarat.
 Tenacious. Memegang teguh, dengan keras kepala dan tidak mau melepaskan sampai tujuan tercapai.
 Talker. Terus menerus bicara, biasanya menceritakan kisah lucu dan menghibur setiap orang di sekelilingnya, merasa perlu mengisi kesunyian supaya membuat orang lain merasa senang.
 Tolerant. Mudah menerima pemikiran dan cara-cara orang lain tanpa perlu tidak menyetujui atau mengubahnya.
17.Listener. Selalu bersedia mendengar apa yang anda katakan.
 Loyal. Setia kepada seseorang, gagasan, atau pekerjaan, kadang-kadang melampaui alasan.
 Leader. Pemberi pengarahan karena pembawaan, yang terdorong untuk memimpin, dan sering merasa sulit mempercayai bawah orang lain bisa melakukan pekerjaan dengan sama baiknya.
 Lively. Penuh kehidupan, kuat, penuh semangat.
18.Contented. Mudah puas dengan apa yang dimilikinya, jarang iri hati.
 Chief. Memegang kepemimpinan dan mengharapkan orang lain mengukutinya.
 Chartmaker. Mengatur kehidupan, tugas, dan permecahan masalah dengan membuat daftar, formulir, atau grafik.
 Cute. Tak ternilai harganya, dicintai, pusat perhatian.
19.Perfectionist. Menempatkan standar tinggi pada dirinya, dan sering pada orang lain, menginginkan segala-galanya pada urutan yang semestinya sepanjang waktu.
 Pleasant. Mudah bergaul, berisfat terbuka, mudah diajak bicara.
 Producative. Harus terus menerus bekerja atau mencapai sesuatu, sering merasa sulit beristirahat.
 Popular. Orang yang menghidupkan pesta dan dengan demikian sangat diinginkan sebagai tamu pesta.
20.Bouncy. Kepribadian yang hidup, berlebihan, penuh tenaga.
 Bold. Tidak kenal takut, berani, terus terang, tidak takut akan resiko.
 Behaved. Secara konsisten ingin membawa dirinya di dalam batas-batas apa yang dirasakan semestinya.
 Balanced. Kepribadian yang stabil dan mengambil tengah-tengah, tidak menjadi sasarn ketinggian atau kerendahan yang tajam.

9.2 Pendidikan Remaja
Remaja Modern dan Akar Permasalahannya
Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer, sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?
Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun. Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.
Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai,’ sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim. Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi.
Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata. Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
Contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat, tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti ”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?” Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri.
Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika. Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD.
Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine. Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri. Survey American Academy of Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya paling tidak satu kali. Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh diri.
Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air. Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini.
Remaja modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks bebas.
Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa. Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba mengurai persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja.
Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.
Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?” menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri.” Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”
Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat moral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi. Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion) saat mencari model peran yang akan diikuti.
Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah. Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal dari tulisan ini.
Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti. Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah semakin melipat gandakannya.
Semua ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis.
Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remaja sebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya.
Kajian yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagi terbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalah bahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktu pertumbuhan alamiah manusia.” Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadi karena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki remaja tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia.
Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenai kapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka harus melewati masa pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya – sementara pada saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nantinya.
Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja.” Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang kita pahami sekarang sama sekali tidak ada.
Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan,“Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai pengganti keluarga-keluarga besar ….”
Jadi, perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi.
Pada masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk ’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern.
Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa “anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.” Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa. Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.
Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah disebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini – di masa-masa awal pubertas mereka – di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang mendapat status sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol. ”Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang,” tulisnya.
Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yang merupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyai anak.
Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja. Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.
Aspek-Aspek Pendidikan Remaja
Berbagai persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri.
Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya. Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna. Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”
Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja.
Kedewasaan sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta aktivitas positif orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.
Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab. Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.
1. Identitas diri.
Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial (kultur buatan atau tiruan) dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.

2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern.
Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.
3. Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.
Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.
4. Tanggung Jawab
Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial. Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab.
Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.
Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.
BAB X
PENYESUAIAN DIRI REMAJA DALAM SUATU LINGKUNGAN
Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usia berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang sering disebut usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi perubahan juga pada dirinya baik secra psikis, fisik dan social (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat mengalami masa krisis yang ditandai dengan kecerundungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. (Ekowarni,1993).
Melihat kondisi tersebut jika tidak didukung kondisi lingkungan yang kondusif dan kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai perilaku penyimpangan dan perbuatan-perbuatan yang negative yang dapat melanggar aturan dan norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat diwilayah tertentu. Untuk itu, pada masa remaja dibutuhkan penyesuaian diri dimana pun dia akan berada.
Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi yang kontinyu antara diri individu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia luar. Ketiga faktor ini secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik (Calhoun dan Acocella,1976). Dari diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada diri individu, tubuh, perilaku dan pemikiran serta perasaan. Orang lain yaitu orang-orang disekitar individu yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan individu. Dunia luar yaitu penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi individu
Proses penyesuaian diri pada manusia tidaklah mudah. Hal ini karena didalam kehidupannya manusia terus dihadapkan pada pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Periode penyesuaian diri ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup manusia. Manusia diharapkan mampu memainkan peran-peran sosial baru, mengembangkan sikap-sikap sosial baru dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru yang dihadapi (Hurlock,1980).
Agar penyesuaian yang dilakukan terhadap lingkungan sosial berhasil (well adjusted), maka remaja harus menyelaraskan antara tuntutan yang berasal dari dalam dirinya dengan tuntutan-tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya, sehingga remaja mendapatkan kepuasan dan memiliki kepribadian yang sehat. Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa para remaja tersebut memakai model pakaian yang sama denga pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Untuk itu remaja harus mengetahui lebih banyak informasi yang tepat tentang diri dan lingkungannya.
10.1 Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.
2. Penyesuaian Sosial
Setiap iindividu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok.
Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
10.2 Pembentukan Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam, dan orang tersebut mampu untuk menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi. Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya, pada penulisan ini beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan Keluarga
Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti. Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di kemudian hari.
Meskipun bagi remaja hal ini kurang berpengaruh, karena remaja sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan stres.
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu mempelajari dasar dari cara bergaul dengan orang lain, yang biasanya terjadi melalui pengamatan terhadap tingkah laku dan reaksi orang lain dalam berbagai keadaan. Biasanya yang menjadi acuan adalah tokoh orang tua atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindkan yang mendukung hal tersebut.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain sebagainya. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.
b. Lingkungan Teman Sebaya
Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya.
Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya maka individu akan semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
c. Lingkungan Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu.
Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi.






BAB XI
KARAKTERISTRIK PERKEMBANGAN SISWA
11.1 Karakteristik Peserta Didik Usia Taman Kanak-kanak
Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 4-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya).
 Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh maka memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya dan ekplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orang tuanya.
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran orang dewasa, dan 90% pada usia enam tahun. Pada usia ini juga terjadinya pertumbuhan ”myelinization” (lapisan urat syaraf dalam otak yang terdiri dari bahan penyekat berwarna putih, yaitu myelin) secara sempurna. Lapisan urat syaraf ini membantu transmisi impul-impul syaraf secara cepat, yang memungkinkan pengontrolan terhadap kegiatan-kegiatan motorik lebih seksama dan efisien. Di samping itu pada usia ini banya juga perubahan fisiologis lainnya, seperti pernapasan menjadi lebih lambat dan mendalam dan denyut jantung lebih lambat dan menetap.
Untuk perkembangan fisik anak sangat diperlukan gizi yang cukup. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat mengakibatkan kecatatan tubuh dan kelemahan mental. Mereka kurang memiliki kemampuan atau kesiapan mental dan fisik. Perkembangan fisik akan ditandai juga dengan berkembangnya kemampuan atau keterampilan motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Bimbingan guru taman kanak-kanak itu berkaitan dengan pengembangan aspek-aspek berikut:
1. Pengenalan/pengetahuan akan namanya dan bagian-bagian tubuhnya.
2. Kemampuan untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi tubuh.
3. Pemahaman bahwa walaupun setiap individu berbeda dalam penampilannya, seperti perbedaan dalam warna rambut, kulit dan mata, atau tingginya tetapi, semua orang memiliki kesamaan karakteristik fisik yang sama.
4. Menerima bahwa semua orang memiliki keterbatasan dalam kemampuannya.
5. Kemampuan untuk memahami bahwa tubuh itu berubah secara konstan, dan pertumbuhan fisik berawal dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian.
6. Pemahaman akan pentingnya tidur dan juga sebagai dua siklus kehidupan yang penting bagi kehidupan.
7. Mengetahui kesadaran sensori (merasa, melihat, mendengar, mencium, dan menyentuh/meraba).
8. Memahami keterbatasan fisik seperti lelah, sakit dan melemah.
 Perkembangan Intelektual
Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode Preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Yang dimaksud dengan operasi adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional atau “Symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk mewakili sesuatu yang lain dengan menggunakan simbol. Dapat juga dikatakan sebagai “semiotic function”, kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau peristiwa.
Meskipun berpikir melalui simbol ini dipandang lebih maju dari berpikir periode sensorimotor, namun kemampuan berpikir ini masih mengalami keterbatasan. Keterbatasan yang menandai atau yang menjadi karakteristik periode preoperasional ini adalah sebagai berikut :
1. Egosentrisme
2. Kaku dalam berpikir (Rigidity of thought)
3. Semilogikal reasoning
Secara ringkas perkembangan intelektual masa prasekolah :
1. Mampu berpikir dengan menggunakan simbol
2. Berpikir masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka meyakini apa yang dilihatnya dan hanya terfokus kepada satu atribut atau dimensi terhadap satu objek dalam waktu yang sama. Cara berpikir mereka masih memusat.
3. Berpikirnya masih kaku tidak fleksibel.cara berpikirnya terfokus pada keadaan awal atau akhir dari suatu transformasi,bukan kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai keadaan tersebut.
4. Anak sudah mengerti dasar-dasar mengelompokkan sesuatu atau dasar satu dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk dan ukuran.
 Perkembangan Emosional
Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan bukan aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Bersama dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak maka pada diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala/menentang atau menyerah menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu.
Guru di taman kanak-kanak seyogyanya memberikan bimbingan kepada mereka agar mereka dapat mengembangkan hal-hal berikut :
1. Kemampuan untuk mengenal, menerima dan berbicara perasaan-perasannya.
2. Menyadari bahwa ada hubunan antara emosi dengan tingkah laku sosial.
3. Kemampuan untuk menyalurkan kegiatannya tanpa menganggu perasaan orang lain.
4. Kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
 Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa anak usi apra sekolah, dapat diklasifikasikan ke dalam dua tahap (sebagai kelanjutan dari dua tahap sebelumnya) yaitu sebagai berikut :
a. Masa ketiga (2,0-2,6) yang bercirikan
1. Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
2. Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan.
3. Anak banyak menanyakan nama dan tempat : apa dimana dan darimana.
4. Anak sudah banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan berakhiran.
b. Masa kekempat (1,2-6,0) yang bercirikan
1. Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.
2. Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu-sebab akibat melalui pertanyaan : kapan, kemana,mengapa dan bagaimana
Berbagai peluang yang diberikan oleh orang tua/guru kepada anak untuk membantu perkembangan bahasa anak diantaranya yaitu :
1. Bertutur kata yang baik dengan anak
2. Mau mendengarkan pembicaraan anak
3. Menjawab pertanyaan anak
4. Mengajak berdialog dalam hal-hal sederhana
5. Di tman kanak-kanak, anda diiasakan untuk bertanya, menghafal dan melantunkan lagu dan puisi.
 Perkembangan Bermain
Usia pra sekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain. Yang dimaksud bermain disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan. Terdapat beberapa macam permainan anak yaitu :
1. Permainan fungsi (permainan gerak), seperti meloncat-loncat
2. Permainan fiksi, seperti menjadikan kursi sebagai kuda
3. Permainan reseptif atau apresiatif, seperti melihat gambar
4. Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat gunung pasir
5. Permainan prestasi, seperti sepak bola
Secara psikologis dan paedagogis bermain mempunyai nilai-nilai yang sangat berharga bagi ana diantaranya :
1. Anak memperoleh perasan senang, puas, bangga, atau berkatarsis (peredan ketegangan)
2. Anak dapat mengembangkan sikap percaya diri, tanggung jawab, dan kooperatif (mau bekerja sama)
3. Anak dapat mengembangkan daya fantasi atau kreatifitas
4. Anak dapat mengenal aturan atau norma yang berlaku dalam kelompok serta belajar untuk menaatinya.
5. Anak dapat memahami bahwa baik dirinya maupun orang lain sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
6. Anak dapat mengembangkan sikap sportif, tenggang rasa atau toleran terhadap orang lain.
11. 2 Karakteristik Peserta Didik Usia Sekolah Dasar
 Perkembangan Intelektual
Pada usia dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung).
Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak,maka sekolah dalamhal ini guru seyogyanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau pendapat tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan oleh guru, membuat karangan, menyusun laporan.
 Perkembangan Bahasa
Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara berkomunikasi, dimana pikirandan perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat, atau gerak dengan menggunakan kata-kata,kalimat, bunyi, lambang, gambar, atau lukisan. Dengan bahasa semua manusia dapat mengenal dirinya, sesama manusia, alam sekitar, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral atau agama.
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa yaitu :
1. Proses jadi matang dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
2. Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/kata-kata yang didengarnya. Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak
Dengan dibekali pelajaran bahasa di sekolah, diharapkan peserta didik dapat menguasai dan mempergunakannya sebagai alat untuk :
1. Berkomunikasi dengan orang lain
2. Menyatakan isi hatinya
3. Memahami keterampilan mengolah informasi yang diterimanya
4. Berpikir (menyatakan gagasan atau pendapat)
5. Mengambangkan kepribadiannya seperti menyatakan sikap dan keyakinannya.
 Perkembangan Sosial
Pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain).
Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosila ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun tugas yang membutuhkan pikiran. Hal ini dilakukan agar peserta didik belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati dan betanggung jawab.
 Perkembangan Emosi
Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengndalikan emosinya sangatlah berpengaruh pada anak.
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Memgingat hal tersebut, maka guru hendaknya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Upaya yang dilakukan antara lain :
1. Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan
2. Memperlakukan peserta didik sebagai individu yang mempunyai harga diri
3. Memberikan nilai secara objektif
4. Menghargai hasil karya peserta didik
 Perkembangan Emosional
Anak mulai mengenal konsep moral pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya, mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tapi lambat laun anak akan memahaminya. Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti peraturan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar-salah atau baik-buruk.
 Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Pada masa ini, perkembangan penghayatan keagamaannya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian
1. Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara asional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya.
2. Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
3. Periode usia sekolah dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya.
 Perkembangan Motorik
Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang maka perkembangan motorik anak sudah terkoordinasi dengan baik.
Sesuai dengan perkembangan fisik (motorik) maka di kelas-kelas permulaan sangat tepat diajarkan :
1. Dasar-dasar keterampilan untuk menulis dan menggambar
2. Keterampilan dalam mempergunakan alat-alat olahraga
3. Gerakan-gerakan untuk meloncat, berlari, berenang, dsb.
4. Baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kebiasaan, ketertiban dan kedisiplinan.
11.3 Karakteristik Peserta Didik Usia Remaja
Remaja sering disebut dengan istilah puberteit danadolescentia. Puberteit (Belanda), puberty (Ingris), pubertas (Latin) yang artinya tumbuh rambut di daerah ”pusic” daerah kemaluan. Adolescentia dari bahasa latin adalah masa muda.
 Pengertian Remaja
1. Remaja menurut hukum
Menurut undang-undang perkawinan usia minimal untuk suatu perkawinan untuk putri 16 tahun dan untuk putra 19 tahun. Dalam imu-ilmu sosial usia antara 16 sampai 22 tahun disejajarkan dengan pengertian remaja.
1. Remaja ditinjau dari pertumbuhan fisik
Dari sudut fisik remaja dikenal sebagai suatu tahap dimana alat kelamin mencapai kematangan. Pematangan fisik berjalan ± 2 tahun dimulai saat haid pertama pada wanita dan sejak mimpi basah (polusio) pada laki-laki masa dua tahun ini dinamakan masa pubertas, datangnya masa pubertas tiap individu tidak sama.
1. Remaja menurut WHO
Menurut WHO remaja adalah masa pertumbuhan dan perkembangan dimana individu mengalami :
1. Menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder saat mereka mencapai kematangan seksual.
2. Mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa.
3. Peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.
2. Remaja ditinjau dari faktor sosial sosial psikologis
Masa remaja adalah suatu perkembangan yang ditandai adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi ”negentropy”. Entropy adalah suatu keadaan dimana kesadaran (pengetahuan,perasaan) manusia belum tersusun rapi sehingga belum berfungsi maksimal. Negentropy adalah suatu keadaan dimana kesadaran tersusun dengan baik, artinya pengetahuan satu berhubungan dengan pengetahuan yang lain dan pengetahuan berhubungan dengan sikap, perasaan.
3. Remaja menurut masyarakat Indonesia
Batasan remaja Indonesia adalah usia 11 tahun sampai 24 tahun dan belum menikah dengan alasan :
1. Usia 11 tahun umumnya sudah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder
2. Menurut agama dan adat usia 12 tahun anak sudah akil balik.
3. Pada usia tersebut ulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan misalnya :
a. Tercapainya identitas diri
b. Fase genital
c. Tercapainya puncak perkembangan kognitif
4. Pada usia 24 tahun masih banyak anak yang belum mandiri, masih menggantungkan pada orang tua
12. Karakteristik Remaja
 Perkembangan fisik
Masa remaja merupakan salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Masa pertama yang terjadi pada fase pranatal dan bayi. Bagian-bagian tubuh tertentu pada tahun-tahun permulaan kehidupan secara proporsional terlalu kecil, namun pada masa remaja proporsionalnya menjadi terlalu besar, karena terlebih dahulu mengalami kematangan daripada bagian-bagian yang lain. Pada masa remaja akhir, proporsi tubuh individu mencapai proporsi tubuh orang dewasa dalam semua bagiannya. Dalam perkembangan seksualitas remaja ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder.
 Perkembangan kognitif (Intelektual)
Ditinjau dari perkembanga kognitif menurut Piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Keating merumuskan lima pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut :
1. Berlainan dengan cara berpikir anak-anak yang tekanannya kepada kesadarannya sendiri disini dan sekarang, cara berpikir remaja berkaitan erat dengan dunia kemungkinan. Remaja mampu menggunakan abstraksi dan dapat membedakan yang nyata dan konkret dengan abstrak dan mungkin.
2. Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah.
3. Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengekplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
4. Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif itu efisien dan tidak efisien. Dengan demikian, introspeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari.
5. Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru dan ekspansi berpikir.
Implikasi pendidikan atau bimbingan dari periode berpikir operasi formal ini adalah perlunya disiapkan program pendidikan atau bimbingan yang memfasilitasi perkembanga kemampuan berpikir remaja. Upaya yang dapat dilakukan seperti :
1. Penggunaan metode mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan atau mengujicobakan suatu materi
2. Melakukan dialog, diskusi dengan siswa tentang masalah-masalah sosial atau berbagai aspek kehidupan seperti agama, etika pergaulan dan pacaran, politik, lingkungan hidup, bahayanya minuman keras dan obat-obatan terlarang.
 Perkembangan Emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama ogran seksual mempengaruhi perkembangan emosi dan dorongan baru yang dialami sebelumnya seperti perasaan cinta. Pada usia remaja awal, perkembanga emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya bersifat negatif dan tempramental. Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya. Mencapai kematang emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya.
 Perkembangan sosial
Pada masa remaja berkembang ”social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Ramaja memahami orang lain sebagi individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi, minat,nilai-nilai, maupun perasaannya.
Pada masa ini juga berkembang sikap ”conformity”, yaitu kcenderungan untuk menyerah atau megikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain (teman sebaya).
Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral dan agama dapat dipertanggungjawabkan maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku yang melecehkan nilai-nilai moral maka sangat dimungkinkan remaja akan melakukan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
 Perkembangan moral
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan dan kedisiplinan.
Menurut Adam dan Guallatta terdapat berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi moral remaja, yaitu :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orang tua.
2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnyadaripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
3. Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja yaitu (a) orang tua yang mendorong anak untuk diskusi secara demokratis dan terbuka mengenai berbagai isu dan (b) orang tua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.
 Perkembangan kepribadian
Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat-sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam. Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif dan niali-nilai. Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan ”identity” merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Apabila remaja gagal mengintegrasikan aspek-aspek dan pilihan atau merasa tidak mampu untuk memilih, maka dia akan mengalami kebingungan (confusion).
11. 4 Karakteristik Peserta Didik Usia Taman Dewasa
Secara psikologis kedewasaan diwarnai dengan aktualisasi diri yaitu menunjukkan semua kemampua yang dimiliki dalam rangka mandiri, bisa mencari nafkah sendiri, dapat menentukan kehidupan sendiri, ingin merdeka.
Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai atau setidak-tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak telah mencapai kematangan serta mampu bereproduksi.
Pada umumnya psikolog menetapkan seseorang dikatakn telah dewasa sekitar usia 20 tahun sebagai awal masa dewasa dan berlangsung sampai sekitar usia 40-45 dan pertengahan masa dewasa berlangsung dari sekitar 40-45 sampai sekitar 65 tahun, serta masa dewasa lanjut atau masa tua berlangsung dari sekitar 65 tahun sampai meninggal.
 Perkembangan Fisik
Dilihat dari aspek perkembangan fisik, pada awal masa dewasa kemampuan fisik mencapai puncaknya dan sekaligus mengalami penurunan selama periode ini.
 Kesehatan Badan
Awal masa dewasa ditandai dengan memuncaknya kemampuan dan kesehatan fisik. Mulai dari sekitar usia 18 hingga 25 tahun, individu memiliki kekuatan yang terbesar, gerak-gerak reflek mereka sangat cepat. Meskipun pada awal masa dewasa kondisi kesehatan fisik mencapai puncaknya, namun selama periode ini penuruna keadaa fisik juga terjadi. Sejak usia sekitar 25 tahun, perubahan-perubahan fisik mulai terlihat. Perubahan ini sebagian besar lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif.
 Perkembangan Sensori
Pada awal masa dewasa penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran belum begitu kelihatan. Akan tetapi, pada masa dewasa tengah perubahan dalam penglihatan dan pendengaran merupakan dua perubahan fisik yang paling menonjol. Pada usia antara 40 dan 59 tahun, daya akomodasi mata mengalami penurunan paling tajam. Karena itu, banyak orang pada usia setengah baya mengalami kesulitan dalam melihat objek-objek yang dekat.
 Perkembangan Otak
Mulai masa dewasa awal, sel-sel otak juga berangsur-angsur berkurang. Tetapi, perkembangbiakan koneksi neural (neural connection), khususnya bagi orang-orang tetap aktif, membantu mengganti sel-sel yang hilang. Hal ini membantu menjelaskan pendapat umum bahwa orang dewasa tetap aktif, baik secara fisik, seksual, maupun secara mental, menyimpan lebih banyak kapasitas mereka untuk melakukan aktivitas demikian pada tahun selanjutnya.
 Perkembangan Kognitif
Kemampuan kognitif terus berkembang selama masa dewasa. Akan tetapi, bagaimanapun tidak semua perubahan kognitif pada masa dewasa tersebut mengarah pada peningkatan potensi. Kadang-kadang beberapa kemampuan kognitif mengalami kemerosotan seiring dengan pertambahan usia. Meskipun demikian sejumlah ahli percaya bahwa kemunduran keterampilan kognitif yang terjadi terutama pada masa dewasa akhir dapat ditingkatkan kembali melalui serangkaian pelatihan.
 Perkembangan Memori
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa perubahan memori bukanlah suatu yang sudah pasti terjadi sebagai bagian dari proses penuaan, melainkan lebih merupakan stereotip budaya.
Kemerosotan dalam memori episodik, sering menimbulkan perubaha-perubahan dalam kehidupan orang tua. Untuk dapat mencegah kemunduran memori jangka panjang sekaligus memungkinkan dapat meningkatkan kekuatan memori mereka maka dapat dilakukan latihan menggunakan bermacam-macam strategi mnemonic (strategi penghafalan) bagi orang tua.
 Perkembangan Intelegensi
Sejumlah peneliti berpendapat bahwa seiring dengan proses penuaan selama masa dewasa terjadi kemunduran dalam intelegensi umum. David Wechsler menyimpulkan bahwa kemunduran bahwa kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme secara umum. Hampir semua studi menunjukkan bahwa setelah mencapai puncaknya pada usia antara 18-25 tahun, kebanyakan kemampuan manusia terus-menerus mengalami kemunduran.
 Perkembangan Psikososial
Selama masa dewasa, dunia sosial dan personal dari individu menjadi lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Pada masa dewasa ini, individu memasuki peran kehidupan yang lebih luas. Pola dan tingkah laku sosial orang dewasa berbeda dalam beberapa hal dari orang yang lebih muda. Perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh perubahan fisik dan kognitif yang berkaitan dengan penuaan, tetapi lebih disebabkan oleh peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihubungkan dengan keluarga dan pekerjaan. Selam periode ini orang melibatkan diri secara khusus dala karir, pernikahan dan hidup berkeluarga. Menurut Erikson, perkembangan psikososial selama masa dewasa dan tua ini ditandai dengan tiga gejala penting, yaitu keintiman, generatif dan integritas.


BAB XII
PROBLEMATIKA PERKEMBANGAN REMAJA
Sudah cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah menegah (SLTP/ SLTA). Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah dibanjiri berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media massa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah tampak dewasa, tetapi mempuyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi remaja yang demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu.
Masalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku. Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah.
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior). Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.
5. Attention Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh remaja sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak. Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.
Keempat, bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak. Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Kelima, bagaimana pengaruh tayangan media massa baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan.
Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja, gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan jelas.
Apa Jalan Keluar Kita?
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan usia remaja, usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa hal kunci yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam hati sanubari para remaja tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus. Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati. Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna. “Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di sekolah dan di masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya. Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang sebenarnya.

BAB XIII
MOTIVASI DALAM PENGEMBANGAN SISWA
13.1 Pengertian Motivasi dan Tipe Motivasi
Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan.Motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Mc. Donald menyatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen atau ciri pokok dalam motivasi, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri anak atau siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai.Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Ada 2 macam motivasi yaitu :
• Motivasi Intrinsik timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain Contoh : keingintahuan, keinginan untuk membuktikan diri, kebutuhan untuk dipuji, minat besar untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan
• Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu berupa ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain yang terkadang diikuti dengan iming-iming sesuatu agar anak lebih memilih untuk melakukan sesuatu.



13.2 Konsep-konsep dasar tentang motivasi
Motivasi merupakan jantung-nya proses belajar. Oleh kerana motivasi begitu penting dalam proses pembelajaran, maka tugas guru yang pertama dan terpenting adalah membangkitkan atau membangun motivasi pelajar terhadap apa yang akan dipelajari oleh pelajar. Motivasi bukan sahaja menggerakkan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Pelajar yang bermotivasi dalam pembelajaran akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam pelajaran, tanpa banyak bergantung kepada guru.
Menurut para pakar motivasi terdapat dua jenis motivasi yang umum, iaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik.Motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong yang murni berasal dari dalam diri individu, dan tujuan tindakan itu terlibat di dalam tindakan itu sendiri, bukan di luar tindakan tersebut.Berbeza dengan motivasi ekstrinsik, iaitu keinginan bertingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsangan dari luar atau kerana adanya kekuasaan dari luar.Tujuan bertingkah laku pun tidak terlibat dalam tingkah laku itu sendiri, tetapi berada di luar tindakan tersebut.
Di dalam proses belajar, motivasi intrinsik lebih berkesan mendorong pelajar dalam belajar. Namun bukan bermakna bahawa motivasi ekstrinsik perlu dihindari sama sekali. Motivasi ekstrinsik dapat memancing timbulnya motivasi intrinsik. Banyak pelajar yang termotivasi secara ekstrinsik dapat berjaya dengan baik dalam belajar, seperti halnya dengan pelajar-pelajar yang termotivasi secara intrinsik, asalkan guru dapat membantu mereka dengan cara yang tepat sesuai dengan keperluan mereka. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membangkitkan motivasi pelajar dalam belajar melalui pengembangan motivasi ekstrinsik, seperti memberikan penghargaan atau celaan, membangun persaingan, memberikan hadiah atau hukuman, dan memberi tahu kemajuan yang dicapai oleh pelajar. Masing-masing cara mempunyai kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya sendiri. Guru harus menentukan cara yang paling tepat sehingga berbagai kelemahan dapat dikurangi atau dihindarkan sama sekali, dan sebaliknya kekuatan-kekuatan yang ada dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya.
• Teori-teori tentang motivasi
Menurut teori Keperluan, manusia termotivasi untuk bertingkah laku adalah kerana ingin memenuhi bermacam-macam keperluan seperti berikut:
1. Keperluan fizikal, iaitu meliputi keperluan makan, minum, seks atau kenikmatan dan keselamatan fizikal lainnya. Oleh kerana itu sekolah hendaknya menyediakan persekitaran yang menimbulkan kenikmatan, keamanan secara fizikal bagi para pelajar, sehingga mereka merasa senang dan nyaman dalam belajar.
2. Keperluan emosional, iaitu meliputi keperluan untuk mencapai prestasi dan harga diri. Ini dijadikan dorongan yang memotivasi dalam belajar dengan cara melibatkan pelajar dalam menentukan tujuan dan aktiviti untuk mencapai tujuan belajar. Aktiviti belajar hendaklah benar-benar bermanfaat bagi pelajar.Tugas-tugas belajar hendaklah cukup mencabar pelajar untuk berusaha secara maksimum, tidak terlalu mudah dan tidak pula terlalu sukar.Urutan-urutan aktiviti belajar hendaklah diatur sedemikian rupa sehingga pelajar benar-benar dapat berhasil dalam belajar, sekalipun dia adalah pelajar yang lembab.Dalam hal ini guru memperlakukan pelajar dengan penuh manusiawi dan menhormati serta menghargai mereka.
3. Keperluan kognitif, iaitu meliputi keperluan untuk berhasil menciptakan atau memecahkan suatu suasana konflik atau hal-hal yang saling bertentangan dan keperluan untuk mendapatkan rangsangan. Untuk itu guru perlu memberi tahu pelajar tentang tujuan pelajaran sehingga mereka mengetahui keberhasilan yang bagaimana yang diharapkan untuk mereka capai. Berbagai macam cara penyajian dapat dilaksanakan, seperti melalui teka-teki, pertanyaan yang mengundang perdebatan atau berbagai pendapat untuk menjawabnya, memunculkan pandangan-pandangan yang berlawanan atau berbeza atau aneh sehingga pelajar-pelajar terangsang untuk berfikir dan membahasnya. Menyediakan rangsangan dengan memberikan maklumat baru dan berkualiti melalui ceramah, demonstrasi dan perbincangan.

Abraham Maslow, seorang pakar motivasi terkenal dan pencipta teori keperluan mengemukakan suatu hubungan hirarki di antara pelbagai keperluan. Menurutnya jika keperluan pertama terpuaskan atau terpenuhi, maka keperluan kedua dirasakan oleh individu sangat penting untuk dipuaskan.Demikian seterusnya sampai keperluan yang paling tinggi, iaitu keperluan aktualisasi diri.
Para pakar Humanistik menitik-beratkan pentingnya motivasi dari dalam diri sendiri (self-motivation).Mereka menganjurkan agar guru-guru mendorong berkembangnya rasa ingin tahu dan minat semulajadi pelajar dalam belajar.Para pakar Behavioristik pula menekankan pentingnya persekitaran dalam menciptakan kondisi yang memotivasi pelajar.Mereka menganjurkan agar guru mengaitkan belajar dengan rangsangan yang menimbulkan perasaan senang dan membentuk tingkah laku pelajar melalui pemberian hadiah atau berbagai penguatan lainnya.
13.3 Masalah Berkaitan dengan Motivasi
1. Motivasi padam atau tidak punya motivasi
Masalah ini biasanya terjadi bila anak merasa takut gagal, frustrasi karena prestasi tidak stabil, tidak memahami harapan orang lain (orangtua, guru, teman), rendah diri atau minder, masalah emosi (marah, sedih, benci), kurang perhatian dan kurang penghargaan.
2. Motivasi yang salah
Hal ini biasanya terjadi karena ajakan atau paksaan dari luar, sehingga anak melakukan sesuatu didasari oleh tujuan yang tidak jelas atau salah.Bila tidak segera diperbaiki, anak akan belajar memanipulasi tujuan demi tercapainya sesuatu.
Bentuk sikap dan perilaku anak yang mempunyai motivasi salah : Mengajak dan Memaksa orang lain melakukan hal yang tidak benar (“Ayo nyontek saja…. Daripada nilai jelek lalu kita tidak boleh bermain”) ; Berbohong (“Bilang saja kalau kita mau belajar, tapi nanti kita main dulu”) ; Memfitnah (“Bukan aku yang mencoreti buku tapi ada temanku yang menyuruh”)
• Kesulitan menimbulkan motivasi anak
Bagi sebagian orangtua, menimbulkan motivasi anak bukanlah hal yang sulit, karena anak mereka memang memiliki keinginan besar untuk melakukan eksplorasi, mandiri, cerdas dan memiliki ambisi untuk mencapai sesuatu.Namun banyak orangtua mengalami kesulitan besar bahkan untuk membuat anak sedikit termotivasi untuk melakukan sesuatu. Berbagai upaya telah dilakukan misalnya memberi hadiah, menjanjikan sesuatu bila anak berhasil dan bahkan menghukum anak namun belum membuat sang anak termotivasi.
Anak yang acuh tak acuh (cuek) dan lebih senang menyendiri serta memiliki sifat dasar ‘pemberontak’ pada dasarnya tidak mudah termotivasi oleh hadiah maupun hukuman karena memiliki pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan anak lain.
I3.4 Strategi dan Kegiatan Untuk Menimbulkan Motivasi
Tantangan utama yang dihadpi orangtua dan guru adalah bagaimana menimbulkan motivasi intrinsik pada anak, sehingga anak akan dengan sendirinya termotivasi belajar hal baru, menyukai proses belajar itu sendiri dan mengetahui nilai atau hasil akhir yang akan dicapainya melalui kegiatan ini.
Anak akan termotivasi bila :
1. Anak merasa kompeten (mampu melakukan sesuatu)
Orangtua hendaknya membantu anak untuk meraih kompetensi dan tidak membiarkan anak mereka berjuang sendirian. Beri tantangan yang diyakini mampu diselesaikan anak, sehingga ia merasakan suatu keberhasilan. Secara bertahap beri tantangan yang lebih besar disertai dengan kepercayaan orangtua bahwa anak akan mampu menghadapinya (bila perlu temani anak dengan sepenuh hati). Untuk menjadi kompeten, anak perlu tekun berlatih dan tugas orangtua juga memberi keteladanan dalam hal ketekunan. Orangtua yang menunjukkan kemalasan tidak dapat membantu anak termotivasi untuk rajin dan berprestasi.
2. Anak mempunyai pilihan dan dapat mengendalikan apa yang ia pelajari
Anak dan orang dewasa sekalipun akan lebih merasa nyaman bila mereka mempunyai pilihan. Adanya pilihan akan membuat anak terlatih untuk membuat pertimbangan, pembandingan dan akhirnya mengambil keputusan. Keberanian untuk mengambil keputusan akan menimbulkan motivasi untuk mencapai tujuan dari pilihan tersebut. Contoh, anak mempunyai pilihan untuk belajar musik piano atau berenang. Orangtua membantu anak memberikan pertimbangan konsekuensi pilihan tersebut. Bila anak memilih untuk berenang, maka ia dipersiapkan untuk menjaga kondisi fisik dan diharapkan termotivasi untuk makan makanan bergizi.
3. Anak yakin akan kemampuan dirinya dan merasa mendapatkan dukungan dari orangtuanya.
Ketika orangtua terlalu sayang kepada anaknya, maka mereka cenderung mengontrol apa yang dirasakan baik bagi anak dan kurang mempertimbangkan bagaimana perasaan anak sendiri akan pilihan orangtuanya. Dukungan yang paling dibutuhkan anak adalah rasa percaya orangtua bahwa anak mampu melakukan apa yang ingin dilakukannya. Bila orangtua tidak menyetujui apa yang akan dilakukan anak, sebaiknya orangtua memberi kesempatan anak mencoba dan tidak menghakimi di awal. Ketika anak semisal tidak berhasil menyelesaikan, maka peran orangtua sangat penting untuk tidak menunjukkan kekecewaan, tetapi tetap menunjukkan optimisme agar anak tidak berhenti mencoba karena orangtua juga tidak akan berhenti memberikan dukungan. Berada bersama anak dalam perjuangan adalah hal yang sangat dibutuhkan anak untuk tetap termotivasi melakukan sesuatu yang sulit.
4. Ada perpaduan antara kepribadian, minat belajar, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak
Dalam mengembangkan motivasi anak, orangtua dan guru penting mempertimbangkan kepribadian, minat, gaya belajar, proses berpikir dan tahap perkembangan anak itu sendiri. Sejalan dengan bertambahnya usia anak, maka minat mulai ikut mengambil peran dalam membangun motivasi. Minat anak dapat diobservasi dari ketertarikan anak melakukan sesuatu, intensitas dan frekuensi ia menghabiskan waktu untuk melakukan suatu hal. Namun perlu disadari bahwa minat besar tidak selalu menghasilkan prestasi, tetapi adanya minat membuat anak menyukai dan menyenangi aktivitas tertentu. Artinya, minat memiliki peran besar dalam menimbulkan emosi positif dan emosi positif inilah yang akan memperkuat motivasi. Bila orangtua memperhatikan bahwa anak mereka berminat pada hal tertentu, beri dukungan dan tantangan agar minat tersebut semakin berkembang dan upayakan anak memiliki kompetensi yang berhubungan dengan minat tersebut. Perkuat rasa percaya diri anak dengan memberikan motivasi ekstrinsik, namun terus pupuk minat ke arah yang benar dengan memberi keteladanan. Contoh : Anak menunjukkan minat musik dan vokal. Ia suka bernyanyi sambil menari. Orangtua dapat membelikan CD atau VCD sehingga anak bisa melihat gaya dan cara menyanyi yang baik. Ketika ada kesempatan, maka anak didorong untuk berani menampilkan kemampuannya. Orangtua menunjukkan antusiasme ketika mendampingi anak dan mengambil foto atau merekam penampilan anak. Kemudian secara gembira mengevaluasi penampilan anak serta meyakinkan anak hal positif apa yang sudah ia dapatkan (pengalaman tampil di depan orang lain, keberanian menunjukkan kemampuan, dll).

DAFTAR PUSTAKA
Ayu Febriasari. (2007). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan Al Bisri Semarang Tahun 2007. Skripsi diterbitkan. Semarang: UNNES.
B. Hurlock, Elizabeth, Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980.
Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: C. V. Ilmu
Dariyo, Agoes. 2003, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda,Jakarta;PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
Daradjat,Zakiah.Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2003
Depresi pada Lansia, diakses pada tanggal 30 Desember 2009 dari http://lansiafood.net
Desmita, Psikologi Perkembangan. Cet.II; Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006.
Elizabeth B. Hurlock;Psikologi Perkembangan
F.J. Monks & A.M.P. Knoers, Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Cet.XV; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004
W Kandau, Drs.Johan . 1991,Psikologi Umum,Jakarta;PT.Gramedia Pustaka Utama
Lask, Bryan. Memahami dan mengatasi masalah anak. 1985. Gramedia. Jakarta
Nadeak, wilson. Memahami anak remaja. 1991. Kanisius. Yogyakarta
http://rosy46nelli.wordpress.com/2009/11/22/definisi-pertumbuhan-perkembangan-kematangan-dan-penuaan/Diunduh pada jam 11:07 (taggal 8 september 2011)
http://ipin4u.esmartstudent.com/psiko.htm#(diunduh pada tanggal 20 september 2011)
http://beritaterkini.us/health/tahap-tahap-pertumbuhan-perkembangan.html
http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/category/psikologi-perkembangan
http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/masa-dewasa-lanjut Selasa, 06 April 2010
http://www.penyesuaian-diri-remaja.html
http://belajarpsikologi.com/tugas-perkembangan-remaja/
http://kristiono.wordpress.com/2008/04/23/perkembangan-psikologi-remaja/
http://nuraelpidia.student.umm.ac.id/2010/01/29/perkembangan-remaja/ (Di unduh pada 18 november 2011)
http://cowokesepian.multiply.com/reviews/item/29 (Di unduh pada tanggal 09 November 11)
http://qalbinur.wordpress.com/2008/03/27/periodisasi-perkembangan-masa-dewasa-awal/(diunduh pada tanggal 20 september 2011)
http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5309 (Di unduh pada tanggal 09 November 11)
http://arvanina.wordpress.com/pribadi-remaja/ (1 Diunduh Pada 11 November 2011)
http://berbagiilmupsikologi.blogspot.com/2009/07/makalah-penyesuaian-diri-remaja-dalam.html
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/aspek-aspek-perkembangan-perilaku-dan.html (diunduh tanggal 18 oktober 2011)
Jalaluddin, Dr, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Memahami Kepribadian Lansia, diakses pada tanggal 02 Januari 2010 dari http://singgihpanduwicaksono.blogspot.com/
Makmun, Abin Syamsuddin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia Indonesia
Riyanti , B.P Dwi dan Hendro Prabowo. 1998,Psikologi Umum,Jakarta;Universitas Gunadarma Press
Subyek: Tugas - tugas perkembangan menurut Havighurst Fri Feb 19, 2010 7:40 pm
Santoso, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Semarang: Unnes Press
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia Surya, Mohammad. 1975.
Sugiyo. 2006. Buku Ajar Psikologi Sosial. Semarang
Sunarto, Dr, Perkembangan Peserta Didik, Asdi Maha Satya, Jakarta, 2002
www.berbagiilmupsikologi.blogspot.com. Makalah Penyesuaian Diri Remaja dalam Suatu Lingkungan. Diakses tanggal 19 November 2010.
www.masbow.com. Penyesuaian Diri pada Remaja. Diakses tanggal 24 November 2010.
www.rumahbelajarpsikologi.com. Penyesuaian Diri. Diakses tanggal 24 November 2010.
www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja&&nomorurut_artikel=266 (Di unduh pada tanggal 09 November 11)
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar