Oleh:
Imam Arifa’illah Syaiful Huda
1.Pendahuluan
Krisis lingkungan hutan atau degradasi hutan merupakan salah satu persoalan lingkungan yang saat ini semakin banyak mendapatkan perhatian. Degradasi hutan ini terjadi sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering kali mengeksploitasi hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya tanpa memperhatikan daya dukung dan keberlanjutannya, seperti aktivitas pembakaran hutan dan illegal loging. Di samping itu, berbagai bentuk kebijakan pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai belahan dunia juga tidak jarang harus mengorbankan kelestarian hutan. Dalam konteks Indonesia, kebijakan pembukaan 14.000 hektar kawasan hutan untuk pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Provinsi Gorontalo oleh pemerintah merupakan salah satu bukti nyata. Di sisi lain, degradari hutan juga diakibatkan oleh pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian dan pemukiman penduduk sebagai akibat populasi manusia yang terus meningkat juga masih terjadi. Susilo (2009: 72) menyatakan bahwa sebesar 42% dari luas dunia telah rusak dengan tanpa bisa diperbaiki kembali. Sementara itu, Iskandar (dalam Susilo, 2009: 72) manyatakan bahwa menurut Laporan World Bank disebabkan 35 tahun terjadi deforestasi, hutan Indonesia tinggal 57 hektar dan hanya 15% di antaranya terletak di dataran rendah, sisanya di lapangan yang sulit dijangkau dan kawasan payau alluvial.
Keberadaan hutan sesungguhnya sangat menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia. Hutan yang sering disebut sebagai paru-paru dunia memiliki fungsi-fungsi antara lain sebagai penyimpan cadangan air bersih, mencegah dan membatasi banjir, mencegah erosi, memelihara kesuburan tanah, menghasilkan oksigen dan mengurangi polusi udara, menjaga kestabilan iklim, serta fungsi-fungsi lainnya yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Namun dewasa ini, aktivitas-aktivitas eksploitasi hutan dan sumber daya hutan yang dilakukan manusia dengan tanpa mempetimbangkan daya dukung dan keberlanjutan lingkungan hutan telah menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi tersebut. Peristiwa bencana banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember pada tahun 2006 dan 2011 dan peristiwa bencana banjir bandang yang terjadi di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat pada 4 Oktober 2010 merupakan beberapa contoh bencana yang timbul terkait adanya degradasi hutan.
Di samping itu, isu global mengenai adanya perubahan iklim global juga dinilai memiliki kaitan erat dengan aspek kelestarian hutan. Perubahan iklim global tersebut menimbulkan suatu tantangan yang sangat rumit bagi kemanusiaan dan berdampak pada pola-pola kerentanan dan bahaya. Terkait dengan perubahan iklim global ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (dalam Pambudy, 2011) menyatakan bahwa 65 persen kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu berhubungan dengan curah hujan dan iklim, berupa banjir, longsor, angin topan, serta pasang dan gelombang laut.
Berbeda dengan perilaku manusia yang sering kali mengeksploitasi hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya dengan tanpa memperhatikan daya dukung dan keberlanjutannya, di sisi lain masih terdapat masyarakat-masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya yang dinilai mampu memanfaatkan dan mengelola lingkungan hutan secara arif dan berkelanjutan. Nurjaya (2009) menyatakan bahwa temuan dari penelitian-penelitian antropologis mengenai pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat lokal di negara-negara Asia dan Amerika Latin membuktikan bahwa masyarakat asli (indigenous people) memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi, serta modal sosial seperti etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan. Salah satu contoh dari masyarakat tersebut adalah masyarakat di desa adat Tenganan Pegringsingan yang berada di Kecamatan Maggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Berkat kearifan lokal dalam pengelolaan kawasan hutan serta komitmen kuat untuk memelihara dan menjaga lingkungan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan memperoleh penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan tahun 1989. Lebih dari itu, lestarinya hutan juga telah menjauhkan mereka dari bencana. Hal ini mengingat letak desa adat Tenganan Pegringsingan yang berada di lembah, yang dikepung oleh tiga bukit sudah tentu sangat rentan terhadap bencana, seperti banjir dan tanah longsor. Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul “Kearifan lokal masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan dalam pelesarian lingkungan hutan” patut diangkat dalam kajian kali ini.
2. Tinjauan Lingkungan Hidup
Bentuk-Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup dan Faktor Penyebabnya
Lingkungan hidup mempunyai keterbatasan, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Dengan kata lain, lingkungan hidup dapat mengalami penurunan kualitas dan penurunan kuantitas. Penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan ini menyebabkan kondisi lingkungan kurang atau tidak dapat berfungsi lagi untuk mendukung kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Kerusakan lingkungan hidup dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan penyebabnya, kerusakan lingkungan dapat dikarenakan proses alam dan karena aktivitas manusia.
1.Lingkungan Akibat Proses Alam
Kerusakan lingkungan hidup oleh alam terjadi karena adanya gejala atau peristiwa alam yang terjadi secara hebat sehingga memengaruhi keseimbangan lingkungan hidup. Peristiwa-peristiwa alam yang dapat memengaruhi kerusakan lingkungan, antara lain meliputi hal-hal berikut ini.
a. Letusan Gunung Api
Letusan gunung api dapat menyemburkan lava, lahar, material-material padat berbagai bentuk dan ukuran, uap panas, serta debu-debu vulkanis. Selain itu, letusan gunung api selalu disertai dengan adanya gempa bumi lokal yang disebut dengan gempa vulkanik. Aliran lava dan uap panas dapat mematikan semua bentuk kehidupan yang dilaluinya, sedangkan aliran lahar dingin dapat menghanyutkan lapisan permukaan tanah dan menimbulkan longsor lahan. Uap belerang yang keluar dari pori-pori tanah dapat mencemari tanah dan air karena dapat meningkatkan kadar asam air dan tanah. Debu-debu vulkanis sangat berbahaya bila terhirup oleh makhluk hidup (khususnya manusia dan hewan), hal ini dikarenakan debu-debu vulkanis mengandung kadar silika (Si) yang sangat tinggi, sedangkan debu-debu vulkanis yang menempel di dedaunan tidak dapat hilang dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan tumbuhan tidak bisa melakukan fotosintesis sehingga lambat laun akan mati. Dampak letusan gunung memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat kembali normal. Lama tidaknya waktu untuk kembali ke kondisi normal tergantung pada kekuatan ledakan dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Akan tetapi, setelah kembali ke kondisi normal, maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang subur karena mengalami proses peremajaan tanah.
b. Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran yang ditimbulkan karena adanya gerakan endogen. Semakin besar kekuatan gempa, maka akan menimbulkan kerusakan yang semakin parah di muka bumi. Gempa bumi menyebabkan bangunan-bangunan retak atau hancur, struktur batuan rusak, aliran-aliran sungai bawah tanah terputus, jaringan pipa dan saluran bawah tanah rusak, dan sebagainya. Jika kekuatan gempa bumi melanda lautan, maka akan menimbulkan tsunami, yaitu arus gelombang pasang air laut yang menghempas daratan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Masih ingatkah kalian dengan peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam di penghujung tahun 2004 yang lalu? Contoh peristiwa gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia antara lain gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam dengan kekuatan 9,0 skala richter. Peristiwa tersebut merupakan gempa paling dasyat yang menelan korban diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa. Gempa bumi juga pernah melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada bulan Mei 2006 dengan kekuatan 5,9 skala richter.
c. Banjir
Banjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang unik. Dikatakan unik karena banjir dapat terjadi karena murni gejala alam dan dapat juga karena dampak dari ulah manusia sendiri. Banjir dikatakan sebagai gejala alam murni jika kondisi alam memang memengaruhi terjadinya banjir, misalnya hujan yang turun terus menerus, terjadi di daerah basin, dataran rendah, atau di lembah-lembah sungai. Selain itu, banjir dapat juga disebabkan karena ulah manusia, misalnya karena penggundulan hutan di kawasan resapan, timbunan sampah yang menyumbat aliran air, ataupun karena rusaknya dam atau pintu pengendali aliran air. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir, antara lain, hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur karena tererosi aliran air, rusaknya tanaman, dan rusaknya berbagai bangunan hasil budidaya manusia. Bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang hampir setiap musim penghujan melanda di beberapa wilayah di Indonesia. Contoh daerah di Indonesia yang sering dilanda banjir adalah Jakarta. Selain itu beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada awal tahun 2008 juga dilanda banjir akibat meluapnya DAS Bengawan Solo.
d. Tanah anah Longsor
Karakteristik tanah longsor hampir sama dengan karakteristik banjir. Bencana alam ini dapat terjadi karena proses alam ataupun karena dampak kecerobohan manusia. Bencana alam ini dapat merusak struktur tanah, merusak lahan pertanian, pemukiman, sarana dan prasarana penduduk serta berbagai bangunan lainnya. Peristiwa tanah longsor pada umumnya melanda beberapa wilayah Indonesia yang memiliki topografi agak miring atau berlereng curam. Sebagai contoh, peristiwa tanah longsor pernah melanda daerah Karanganyar (Jawa Tengah) pada bulan Desember 2007
e. Badai/Angin Topan
Angin topan terjadi karena perbedaan tekanan udara yang sangat mencolok di suatu daerah sehingga menyebabkan angin bertiup lebih kencang. Di beberapa belahan dunia, bahkan sering terjadi pusaran angin. Bencana alam ini pada umumnya merusakkan berbagai tumbuhan, memorakporandakan berbagai bangunan, sarana infrastruktur dan dapat membahayakan penerbangan. Badai atau angin topan sering melanda beberapa daerah tropis di dunia termasuk Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia pernah dilanda gejala alam ini. Salah satu contoh adalah angin topan yang melanda beberapa daerah di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
f. Kemarau Panjang
Bencana alam ini merupakan kebalikan dari bencana banjir. Bencana ini terjadi karena adanya penyimpangan iklim yang terjadi di suatu daerah sehingga musim kemarau terjadi lebih lama dari biasanya. Bencana ini menimbulkan berbagai kerugian, seperti mengeringnya sungai dan sumber-sumber air, munculnya titik-titik api penyebab kebakaran hutan, dan menggagalkan berbagai upaya pertanian yang diusahakan penduduk.
2.Kerusakan Lingkungan Hidup karena Aktivitas Manusia
Dalam memanfaatkan alam, manusia terkadang tidak memerhatikan dampak yang akan ditimbulkan. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia, antara lain, meliputi hal-hal berikut ini.
a. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran disebut juga dengan polusi, terjadi karena masuknya bahan-bahan pencemar (polutan) yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Bahan-bahan pencemar tersebut pada umumnya merupakan efek samping dari aktivitas manusia dalam pembangunan. Berdasarkan jenisnya, pencemaran dapat dibagi menjadi empat, yaitu pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran suara. Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh ulah manusia antara lain, disebabkan oleh asap sisa hasil pembakaran, khususnya bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor, mesin-mesin pabrik, dan mesin-mesin pesawat terbang atau roket. Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran udara, antara lain, berkurangnya kadar oksigen (O2) di udara, menipisnya lapisan ozon (O3), dan bila bersenyawa dengan air hujan akan menimbulkan hujan asam yang dapat merusak dan mencemari air, tanah, atau tumbuhan. Pencemaran tanah disebabkan karena sampah plastik ataupun sampah anorganik lain yang tidak dapat diuraikan di dalam tanah. Pencemaran tanah juga dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk atau obat-obatan kimia yang digunakan secara berlebihan dalam pertanian, sehingga tanah kelebihan zat-zat tertentu yang justru dapat menjadi racun bagi tanaman. Dampak rusaknya ekosistem tanah adalah semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah sehingga lambat laun tanah tersebut akan menjadi tanah kritis yang tidak dapat diolah atau dimanfaatkan.
Pencemaran air terjadi karena masuknya zat-zat polutan yang tidak dapat diuraikan dalam air, seperti deterjen, pestisida, minyak, dan berbagai bahan kimia lainnya, selain itu, tersumbatnya aliran sungai oleh tumpukan sampah juga dapat menimbulkan polusi atau pencemaran. Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran air adalah rusaknya ekosistem perairan, seperti sungai, danau atau waduk, tercemarnya air tanah, air permukaan, dan air laut. Pencemaran suara adalah tingkat kebisingan yang sangat mengganggu kehidupan manusia, yaitu suara yang memiliki kekuatan > 80 desibel. Pencemaran suara dapat ditimbulkan dari suara kendaraan bermotor, mesin kereta api, mesin jet pesawat, mesin-mesin pabrik, dan instrumen musik. Dampak pencemaran suara menimbulkan efek psikologis dan kesehatan bagi manusia, antara lain, meningkatkan detak jantung, penurunan pendengaran karena kebisingan (noise induced hearing damaged), susah tidur, meningkatkan tekanan darah, dan dapat menimbulkan stres.
b. Degradasi Lahan
Degradasi lahan adalah proses berkurangnya daya dukung lahan terhadap kehidupan. Degradasi lahan merupakan bentuk kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan lingkungan oleh manusia yang tidak memerhatikan keseimbangan lingkungan. Bentuk degradasi lahan, misalnya lahan kritis, kerusakan ekosistem laut, dan kerusakan hutan.
1) Lahan kritis dapat terjadi karena praktik ladang berpindah ataupun karena eksploitasi penambangan yang besar-besaran.
2) Rusaknya ekosistem laut terjadi karena bentuk eksploitasi hasil-hasil laut secara besar-besaran, misalnya menangkap ikan dengan menggunakan jala pukat, penggunaan bom, atau menggunakan racun untuk menangkap ikan atau terumbu karang. Rusaknya terumbu karang berarti rusaknya habitat ikan, sehingga kekayaan ikan dan hewan laut lain di suatu daerah dapat berkurang.
3) Kerusakan hutan pada umumnya terjadi karena ulah manusia, antara lain, karena penebangan pohon secara besar-besaran, kebakaran hutan, dan praktik peladangan berpindah. Kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan, misalnya punahnya habitat hewan dan tumbuhan, keringnya mata air, serta dapat menimbulkan bahaya banjir dan tanah longsor.
Dapat di simpulkan bahwa penyebab kerusakan lingkungan yang Pertama, karena kejadian alam sebagai peristiwa yang harus terjadi sebagai sebuah proses dinamika alam itu sendiri. Kedua, sebagai akibat dari perbuatan manusia yang tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan. Kedua bentuk kejadian alam di atas mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora maupun fauna. Ketidakseimbangan tersebut dapat dikatakan sebagai bencana. Dampak-dampak kerusakan lingkungan hidup itu dapat berupa pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keanekaragaman hayati (biological diversity), kerusakan hutan, krisis air bersih, pertambangan dan kerusakan lingkungan, pencemaran udara, banjir, longsor dan sebagainya. Salah satu isu sentral dunia belakangan ini terkait dengan ekologi adalah pemanasan global. Pemanasan global ini dikaitkan dengan globalisasi ekonomi dan krisis keuangan global. Semua terkait dengan perkara hidup manusia sehari-hari, terkait dengan ritual hidup manusia. Sekarang seolah-olah manusia menghadapi ketidakberdayaan.5
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang disebut rumah kaca. Pemanasan global terjadi karena ulah manusia. Akibat yang manusia rasakan adalah gejolak perubahan iklim. Terjadi pancaroba. Bumi makin panas merupakan kenyataan semakin tidak nyamannya Bumi sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Terjadilah peningkatan temperatur. Es kutub mulai mencair, mengakibatkan meningkatnya volume air laut dan anomali cuaca. Muncul kekhawatiran kepunahan spesies, bahkan ketakutan kiamat keburu datang. Diperkirakan saat ini 50-150 spesies Bumi punah setiap hari. Sekitar 50 persen dari sekitar 10 juta spesies yang ada saat ini akan punah dalam 100 tahun ke depan. Laju kepunahan itu perlu diredam karena bias berdampak pada kelangsungan hidup di Bumi. Salah satu caranya, menumbuhkan solidaritas lintas spesies yang saat ini masih sangat minim, sementara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih berorientasi pada kesejahteraan manusia.6
Kerusakan alam berkait erat dengan kemiskinan. Ketika fokus perhatian dunia diberikan untuk mengatasi kerusakan lingkungan, di saat yang sama masih saja terjadi perusakan. Perubahan iklim sebagai salah satu konsekuensi kerusakan alam berdampak global. Dampaknya lebih terasa di negara-negara berkembang sehingga tantangan menyikapinya harus global, sekaligus mengingatkan tentang kepunahan-kepunahan yang terjadi, tidak hanya sebagai gerakan hukum, politik, dan ekonomi, tetapi juga perlu lewat asas keagamaan.
Kemiskinan Dan Kerusakan Lingkungan
Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial. Pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan polinomial berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya.
Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali. Tren yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan.
Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.
Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Hampir di seluruh daerah, kemiskinan semakin terekspose.
Di saat dan tempat yang sama, kerusakan lingkungan makin terjadi, ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang sudah melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran setan kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.
Sejak ditetapkan pada September 2000 dan diikuti dengan penatapan Milleneium Project pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan oleh Kofi Annan, banyak negara dunia memberikan perhatikan serius pada pencapaian target-target yang ditetapkan. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan, tiga target yang disepakati untuk dicapai yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk yang pendapatannya di bawah $1 sehari, mengurangi separuh jumlah penduduk yang kelaparan, serta meningkatkan jumlah ketersediaan pangan bagi orang miskin.
Target yang berkaitan keberlanjutan lingkungan adalah memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan program pembangunan setiap negara, meningkatkan jumlah orang yang dapat akses air bersih, serta meningkatkan secara siginifikan kehidupan 100 juta orang yang hidup di daerah kumuh. Target-target itu membuka debat publik secara demokrasi tentang kinerja pemerintah. Partai politik juga menggunakan target-target ini untuk secara terbuka mengevaluasi kebijakan dan program pemerintah.
Presiden Brasilia, Luis Inacio da Silva, misalnya secara ekplisit mengumumkan target-target pada MDGs sebagai platform politiknya dalam pemilu. Tanpa disadari dan tak secara eksplisit diajukan, di Indonesia pun banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menggunakan target-target MDGs sebagai platform politik mereka dalam pilkada.
Langkah-langkah besar dan signifikan sudah dicapai Tiongkok dan Vietnam dalam mengurangi kemiskinan. Dalam kurun 1990-2002, penduduk miskin 32 persen menjadi 13 persen di Tiongkok, serta dari 51 persen menjadi 14 persen di Vietnam. Namun khususnya di Tiongkok, lingkungan alam sebagai habitat dan sumber daya ekonomi mengalami kerusakan cukup serius. Dengan kata lain, pencapaian MDGs tidak dicapai secara holistik, malahan sebaliknya tujuan atau tagetnya saling dipertentangkan.
Situasi yang sama dengan Tiongkok umumnya berlaku juga di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pengentasan kemiskinan diprioritaskan sementara target lain kurang diperhatikan. Tetapi kawasan itu juga memperhatikan tiga target penting lainnya, yaitu pengurangan angka kematian bayi, penyediaan air bersih, serta peniadaan diskriminasi gender pada pasar tenaga kerja. Logikanya, kemiskinan bisa dientaskan melalui perbaikan ketiga target ini.
Di Asia Selatan, 40 persen penduduk hidup dengan kurang dari $1 sehari. Namun kemiskinan sudah jauh berkurang di kawasan ini, kecuali di Pakistan. Secara khusus, Bangladesh berhasil meningkatkan pendidikan anak dan pemuda, mengurangi malnutrisi anak, serta mengurangi insidensi HIV/AIDS.
Kawasan dunia yang termiskin, Sub-Sahara Afrika, diprediksi tidak akan berhasil mencapai target MDGs, khususnya pengurangan jumlah orang miskin. Sebaliknya, jumlah orang miskin bertambah dari 314 juta pada 2001 menjadi 366 juta pada 2015. Hanya Uganda, Ghana, dan Kamerun yang baik kinerjanya dalam hal pengentasan kemiskinan.
Tuberkolosis, malaria, dan HIV/ AIDS masih marak dan menurunkan harapan hidup serta tingkat kematian bayi. Untuk kawasan itu, keterisolasian, kerusakan sumber daya alam serta ketiadaan infrastruktur teknologi adalah alasan utama kemiskinan dan keterbelakangan.
"Triple Tracks Plus"
Di Indonesia, strategi pembangunan berbasis Triple Tracks (pro poor, pro job, dan pro growth) bisa dipandang sebagai implementasi MDGs, sudah populer, dan diadopsi oleh instansi pemerintah secara nasional. Namun statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja strategi triple tracks.
Tidak untuk diperdebatkan, hanya sebagai indikator, pada 2002 jumlah penduduk miskin 36,4 juta (18,1 persen). Pada September 2006, dengan standar $1,55 sehari, jumlahnya menjadi 39,40 juta. Di saat yang sama, dilaporkan 25 persen anak, usia hingga 5 tahun, menderita gizi buruk. Juga, kematian ibu 307 per 100.000 kelahiran, atau tiga kali kematian di Vietnam dan enam kali Malaysia atau Tiongkok. Per tumah tangga, pada Januari 2006 terdapat 17,8 juta, atau 33,4 persen, rumah tangga miskin (RTM). Menurut pidato kenegaraan terakhir, ada 192 juta, atau 36,1 persen RTM. Sementara target RPJM 12,5 persen pada 2006.
Indikator statistik di atas mungkin sudah berubah dalam setahun terakhir setelah adanya bencana alam: banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan gelombang laut yang menyerang negeri ini, yang membuat masyarakat kehilangan peluang usaha dan peluang bekerja.
Bagi petani, nelayan, dan buruh, sehari tidak bekerja, besar dampaknya bagi pendapatan mereka. Bencana alam seperti yang terus terjadi belakangan ini membuat mereka miskin atau miskin sekali setelah tidak bekerja atau kehilangan aset-aset produktifnya. Dalam kondisi miskin, apalagi sangat miskin, berbagai macam penyakit akan mudah menyerang yang pada akhirnya menurunkan usia harapan hidup.
Memang kejadian alam di luar kontrol manusia. Tetapi bencana alam mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh buatan tangan manusia yang miskin atau yang terlalu serakah. Manusia yang miskin dan serakah merusak alam, dan alam yang rusak memiskinkan manusia.
Celakanya mereka yang merusak alam semakin kaya sementara penduduk lainnya, sebaik dampaknya, menjadi miskin. Tetapi kesalahan itu tidak selamanya ada pada masyarakat dan penduduk. Sangat mungkin, program pemeritah di pusat dan daerah memang tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting. Alam dipaksa memberikan pertumbuhan ekonomi dan itu berada di atas daya dukungnya.
Maka bercermin dari banyak negara lain di dunia, yang berhasil dan tidak berhasil mengelola dan memanfaatkan alam bagi pembangunan ekonominya, serta sebagai upaya mengurangi jumlah orang miskin yang terakumulasi akibat bencana alam, sudah saatnya Indonesia mengikuti strategi Triple Track Plus. "Plus" yang dimaksud, sesuai projek MDGs, adalah pro-environment. Dengan be-gitu sejak saat ini, Indonesia mengikuti bukan lagi Triple Tracks tetapi Fourfold Tracks Strateg
5. PEMBAHASAN
Peran Kearifan Lokal Dalam Kelestarian Lingkungan
Secara yuridis formal kearifan lokal telah diperkenalkan dalam pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan secara lestari. Sementara itu, Prabandani (2011) menyatakan pengertian kearifan lokal ialah nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-pemasalahan sehari-hari oleh masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam kearifan lokal antara lain ialah nilai, norma, hukum dan pengetahuan, sistem pengetahuan lokal dan pemecahan masalah sehari-hari. Kearifan lokal memiliki sifat makrososial, metodologis dapat berasal dari adat-istiadat.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, Purba (2006) menyatakan bahwa kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas pendukungnya. Sikap dan perilaku menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak, mencemari, mengganggu, dan lain-lain.
Sementara itu, Prof. Suwardi, MS (dalam Purba, 2006) menyatakan kearifan lingkungan sebagai aktivitas dan proses berfikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, memanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan manusia secara timbal balik. Kesuksesan kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas dan equitablitas (Atapuah dalam Purba, 2006).
Kearifan lokal masyarakat desa tertentu dalam pelestarian lingkungan hutan tersusun atas nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan, mengelola, serta menjaga hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya agar tetap lestari. Hal ini dikarenakan masyarakat sadar bahwa keberadaannya sangat bergantung pada hutan di sekitar tempat tinggalnya.
Seperti halnya masyarakat Bali pada umumnya menganut suatu konsep hidup yang disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana ialah suatu konsep yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Bali yang berintikan pada keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-manusia, manusia-alam merupakan tiga penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani (Dhana, 2006). Adanya konsep hidup ini dalam kehidupan masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan telah menuntun mereka untuk bersikap dan berperilaku ramah serta senantiasa menjaga keselarasan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam, termasuk juga dengan lingkungan hutannya.
ajaran agama yang dianut oleh seluruh warga desa adat Tenganan Pegringsingan juga mengajarkan bahwa manusia harus selalu senantiasa menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan alamnya. Hal ini dikarenakan antara manusia dengan alam dipercaya mamiliki hubungan secara timbal-balik.
Suryadarma (tanpa tahun) menyatakan atas dasar pengertian dan realitas tersebut, kehadiran manusia sangat mutlak tergantung pada keberadaan tumbuhan dan masyarakat tradisional mengakui eksistensi tumbuhan sebagai makhluk yang memiliki suatu kekuatan perlindungan terhadap manusia. Pola sistem norma yang dianut sebagai alasan utama mengapa hutan dipandang sebagai kawasan dikeramatkan. Pengkeramatan bukan ditafsirkan sebagai penyembahan, tetapi satu bentuk rasa hormat terhadap tumbuhan sebagai bagian knot dalam notasi realitas kehidupan atau samodhaya. Samodhaya tidak hanya menyangkut realitas kehidupan tetapi lebih luas dari itu adalah sistem penunjang kehidupan. Kajian deep ecology mengakui realitas semua makhluk dan sistem penyangga kehidupan memiliki nilai bagi dirinya sendiri dan bukan hanya bernilai atas dasar kepentingan manusia.
Adanya keyakinan-keyakinan yang telah terlembaga dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat tersebut sangat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan hutan di desa. Keyakinan-keyakinan tersebut telah mampu menata tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antara manusia dan lingkungan alam, termasuk juga menata tindakan-tindakan dan tingkah laku masyarakat desa dalam memanfaatkan dan mengelola hutan serta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Terkait dengan kepercayaan atau mitos yang terdapat pada suatu masyarakat, Susilo (2009: 35) menyatakan bahwa seperti banyak diungkapkan penganut struktural, mitos memiliki banyak fungsi demi menciptakan tertib sosial, baik fungsi psikologis, maupun fungsi sosial. Dari fungsi psikologis, mitos mampu mengurangi kecemasan-kecemasan, sedangkan fungsi sosial ia mampu menumbuhkan solidaritas kolektif, identitas kolektif, keharmonisan komunal, dan stabilitas kultural. Mitos tersebut berfungsi dan berpengaruh dalam memberikan arah dan pedoman bertingkah laku terhadap lingkungan hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya.
Disi laian indonesia juga Merespons berbagai persoalan lingkungan hidup di atas.di Indonesia telah ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain yaitu: Undang Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 Tentang: Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang: Sumber Daya Air, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.8
Dalam berbagai undang-undang di atas dinyatakan bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek sesuai dengan Wawasan Nusantara; bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan; bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan
kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Lebih jauh dinyatakan bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa.
Spiritualitas (Agama) dan Back to Nature
Kesadaran internasional akan bahaya bencana lingkungan sudah merebak sejak tahun 1970-an. Kesadaran bahaya lingkungan demikian melahirkan sikap dan perilaku masyarakat dunia untuk bersama-sama menyelamatkan planet dunia yang hanya satu bumi. Upaya penyelamatan lingkungan global perlu memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan. Dalam kepentingan ini masyarakat lingkungan menggali seluruh potensi masyarakat untuk mensukseskan program penyelamatan lingkungan global. Penggalian potensi ekologis masyarakat dunia antara lain berupa penggalian budaya asli masyarakat yang pro ekologis. Demikian pula, masyarakat lingkungan tidak segan-segan menggali nilai-nilai spiritual religius yang dimilki oleh masyarakat beragama.
Dalam kaitan ini agama dengan sisi spiritualitasnya diyakini sebagai sumber kekuatan yang besar dan kontributif untuk mengembalikan keutuhan dan mengerem laju kepunahan. Selain itu, spiritualitas agama dianggap mampu mengajak berbagai pihak mempersatukan, menjadi inspirasi, dan memberikan penguatan eksistansial.
Dalam masyarakat religius, suara agama tetap meiliki wibawa dan masih berkemampuan untuk mempengaruhi pandangan hidup umatnya. Masing-masing denominasi memiliki warisan tersendiri yang dapat didayagunakan. Untuk menghadapi soal konsumerisme dewasa ini, kiranya
Umat Islam sejak dahulu diilhami oleh hidup sederhana Nabi Muhammad SAW ( “ kemiskinan adalah kebanggaanku”) dan umat Islam awal sebagaimana digambarkan dalam hadis; dan oleh cara hidup sederhana gerakan kaum Sufi yang kendati sering ditentang Ortodoksi terus hadir dan memberi inspirasi kepada kehidupan praktis, khususnya di tengah umat Islam Sunni. Meditasi kaum Sufi tentang Alquran dan perjalanan mistik mereka dalam kedekatan dengan Allah didukung oleh hidup mereka yang ugahari, kemiskinan yang sukarela, dan praktek askese.
Contoh agama lain, seperti Buddhisme memilki kemampuan khusus sebab ajarannya yang sentral menyangkut hal mengatasi keinginan ketamakan dan kerakusan. Inilah salah satu hal utama yang ingin dicontohkan dalam hidup para pertapa, biksu, dan biksuni. Perhatian sentral dalam jalan hidup seorang Buddhis menyangkut hal melepaskan diri dari konsep palsu tentang egonya, suatu konsep yang kini begitu ditanamkan oleh dunia konsumerisme dengan warta iklannya.
Semua aliran spiritual memiliki warisan yang mengilhami umatnya untuk menahan diri dari hidup mewah dan pemborosan; dan mengajak untuk hidup berkecukupan saja. Kelbihan dan kekurangan sama-sama salah ( Confucius XI.15). Orang yang tahu bahwa ia berkecukupan adalah kaya ( Tao Te Ching). Orang-orang yang sungguh digerakkan oleh warisan spiritualnya, tidak lagi mencari-cari makanan atau barang yang mewah dan eksotis yang perlu diterbangkan dari ujung bumi, tidak lagi terus membongkar-bangun dan menambah kediamannya yang sudah cukup , tidak berganti-ganti sarana transport dan komunikasinya yang masih baik dengan selalu
mencari produk yang lebih akhir dan canggih lagi atau memboroskan energi serta mencemarkan lingkungan dengan perjalanan yang tidak perlu atau cara yang tak ramah lingkungan.
Kalau makin banyak orang diilhami oleh agamanya untuk secara bebas memilih hidup sederhana dan berkecukupan, langkah penghematan yang lebih structural menyangkut industri, tarnsportasi, penyejuk udara di gedung-gedung, lama kelamaan juga akan disambut baik oleh masyarakat.
Gerakan di atas diharapkan menjadi gerakan pencerahan dan edukasi bersama, dilakukan dengan cara penyadaran kepada sebanyak mungkin orang melalui pendidikan publik, pendidikan lingkungan hidup di dalam kurikulum sekolah lewat muatan local dan pendidikan agama, juga lewat acara-acara keagamaan. Dibangun kemauan gaya hidup sederhana yang berorientasi pada penghargaan terhadap alam (back to nature). Tujuan akhirnya, membangun bersama-sama sebuah dunia sebagai rumah idaman.
6. Penutup
Sebagai catan penutup dan akhir dari keseluruhan pembahasan tulisan ini, perlu dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran budaya dan kearifan likal sangat tinggi dalam pelestarian lingkungan karena masyarakat menganggap bahwa hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan sangatlah besar. Dengan memahami seperti itu, kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan sangatlah tinggi. Meskipun nanti terdapat kerusakan pada lingkungan masyarakat yang mempunyai budaya tertentu akan segera memperbaikinya.
2. Mitos dalam masyarakat dapat menata pola perilaku masyarakat dan membantu norma-norma yang berjalan dalam melindungi kelestarian lingkungan
3. Keserasian lingkungan hidup dalam agama-agama memiliki empat dimensi yang saling terkait antara satu sama lain. Empat dimensi yang dimaksud adalah dimensi teologik, antropologik, kosmologik dan eskatologik.
4. Diskursus dan gerakan spiritualitas (religius) diharapkan menjadi gerakan pencerahan dan edukasi bersama, dilakukan dengan cara penyadaran kepada sebanyak mungkin orang melalui pendidikan publik, pendidikan lingkungan hidup di dalam kurikulum sekolah lewat muatan lokal dan pendidikan agama, juga lewat acara-acara keagamaan. Dibangun kemauan gaya hidup sederhana yang berorientasi pada penghargaan terhadap alam (back to nature). Tujuan akhirnya, membangun bersamasama sebuah dunia sebagai rumah idaman.
5. Agama dengan dimensi spiritualitasnya mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan bumi, yaitu Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol suatu supaya penggunaanya tidak mubazir; Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infak dalam Islam; Responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi bumi dan lingkungan. Dalam hal ini, kepedulian terhadap bumi amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama disajikan dan dieksplorasi dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis
DAFTAR PUSTAKA
Affeltranger, B. 2007. Hidup akrab dengan bencana: Sebuah tinjauan global tentang inisiatif-inisiatif pengurangan bencana. Jakarta: MPBI.
Cubbon, H. A. 2005. Talcott Parsons. Teori-teori sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://assidiqichywt.blogspot.com/2010/10/kwmiskinan-menyebabkan-kerusakan.html
http://fajarbaguss.blogspot.com/2012/01/kearifan-lokal-masyarakat-desa-adat.html
Nurjaya, I N. 2009. Menuju pengakuan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam: Perspektif antropologi hukum. Kertha Wicaksana, 15(2): 102-109. Tersedia pada isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/15209102109. pdf. Diakses pada 23 Desember 2011.
Pambudy, N. M. 2011. Kepercayaan sebagai model sosial cegah bencana. Bencana mengancam Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Loekman Soetrisno, Menuju Masyarakat Partisipatif ( Yogykarta: Penerbit Kanisius, 1995),
hlm.21
Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan
(Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 3-4 dan Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan Prototype
Studi Islam Kontemporer Bidang Lingkungan, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Metodologi Studi Islam Disampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Walisongo, Kamis, 16 Juni 2005 ( Semarang: IAIN Walisongo, 2005), hlm.
Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan Prototype...hlm.2
Michael Faure and Nicole Niessen (editor), Environmental Law in Development Lessons from
the Indonesian Experience (Cheltenham, UK • Northampton, MA, USA: Edward Elgar, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar